Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tino Rahardian
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Tino Rahardian adalah seorang yang berprofesi sebagai Jurnalis. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Hari Buku, Tantangan Literasi, dan Rumah Baca

Kompas.com - 24/04/2025, 14:45 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Momen reflektif dari Hari Buku ini guna menakar ulang sejauh mana manusia modern masih menjadikan buku sebagai cermin zaman dan jendela dunia.

Jadi, setiap 23 April, sejak 1995 UNESCO menetapkan sebagai World Book and Copyright Day atau Hari Buku Sedunia.

Tanggal ini dipilih sebagai penghormatan kepada dua sastrawan besar, William Shakespeare dan Miguel de Cervantes, yang wafat pada hari yang sama (meski berbeda tahun).

Asal-usulnya bermula dari tradisi toko buku di Catalonia, Spanyol pada 1923 yang ingin menghormati karya Cervantes.

Ini kemudian diadopsi secara global sebagai Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia untuk mendorong budaya membaca, penerbitan, dan perlindungan hak cipta.

Dalam lanskap digital yang hiruk-pikuk, muncul paradoks: justru saat segala pengetahuan dapat diakses dalam genggaman, sebagian masyarakat dunia justru kembali melabuhkan diri pada keheningan buku fisik.

Kebangkitan Buku Fisik di Era Digital

Di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Jepang, penjualan buku cetak meningkat dalam beberapa tahun terakhir (Statista, 2023).

Survei Pew Research Center (2022) menunjukkan bahwa 65% pembaca muda (Gen Z) lebih memilih buku fisik karena alasan sensorik--bau kertas, tekstur halaman, dan ketiadaan kelelahan mata.

Fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori embodied cognition (Lakoff & Johnson, 1999), yang menyatakan bahwa pengalaman fisik memengaruhi pemrosesan kognitif.

Membaca buku fisik dianggap lebih "menghadirkan" makna dibandingkan layar digital yang cenderung dangkal (shallow reading).

Selain itu, di tengah derasnya arus digitalisasi, Swedia juga justru mengadopsi kebijakan kembali ke buku fisik setelah 15 tahun menggunakan buku digital dalam pendidikan.

Pemerintah Swedia menemukan bahwa digitalisasi yang masif menurunkan tingkat literasi, pemahaman membaca, dan daya konsentrasi siswa.

Fenomena ini juga didukung oleh survei di Indonesia yang menunjukkan bahwa masyarakat masih lebih memilih buku fisik dibandingkan e-book, karena buku fisik memberikan nilai tambah berupa kenyamanan membaca, kepuasan psikologis, dan aspek koleksi yang tidak dimiliki oleh buku digital.

Kecenderungan ini juga dapat dianalisis melalui pendekatan teoritik hermeneutika dan psikologi kognitif yang membahas bagaimana interaksi fisik dengan objek bacaan dapat meningkatkan pemahaman dan retensi informasi.

Studi Mizrachi & Salaz (2019) menegaskan bahwa membaca dari buku cetak lebih efektif untuk pembelajaran akademik karena memudahkan penandaan dan konsentrasi, sementara e-book lebih cocok untuk bacaan ringan.

Hal ini menunjukkan bahwa medium membaca bukan hanya soal aksesibilitas, tapi juga kualitas pengalaman dan efektivitas kognitif.

Literasi Indonesia: Terjebak dalam Pusaran Rendahnya Minat Baca

Di Indonesia, meski pasar buku digital tumbuh, minat terhadap buku cetak tetap bertahan, terutama di kalangan akademisi dan pecinta sastra.

Studi oleh Perpustakaan Nasional (2023) menemukan bahwa 72% mahasiswa lebih mudah berkonsentrasi saat membaca buku fisik.

Namun, ironisnya, tingkat literasi Indonesia masih rendah--berdasarkan survei PISA 2022, Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 79 negara dalam kemampuan membaca.

Sedangkan, menurut data UNESCO Institute for Statistics (UIS), Indonesia menempati peringkat ke-100 dari 208 negara dengan tingkat literasi sekitar 95,44%, masih kalah dari negara-negara tetangga di Asia Tenggara seperti Filipina, Brunei, dan Singapura.

Rendahnya literasi ini disebabkan oleh beberapa faktor utama, diantaranya adalah:

Kurangnya minat membaca, keterbatasan sarana dan prasarana, peran keluarga yang minim dalam mendukung aktivitas membaca, serta pengaruh negatif dari televisi dan ponsel pintar yang lebih menarik perhatian anak-anak dan remaja dibandingkan buku.

Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa rendahnya literasi Indonesia bersifat multidimensi.

Pertama, akses terhadap buku masih timpang--daerah pedesaan kesulitan memperoleh bahan bacaan berkualitas (Kemdikbud, 2023). Kedua, budaya lisan masih dominan, sementara tradisi baca belum mengakar (Nugroho, 2021).

Teori Social Practice Approach (Street, 1984) menjelaskan bahwa literasi bukan sekadar kemampuan teknis, melainkan praktik sosial yang dipengaruhi lingkungan.

Sedangkan di Indonesia, minimnya perpustakaan ramah anak dan mahalnya harga buku memperparah kondisi ini.

Pendekatan teoritis dari kajian literasi di Indonesia yang banyak diangkat dalam jurnal-jurnal ilmiah nasional menekankan pentingnya ekosistem literasi yang meliputi keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Misalnya, teori ekologi Bronfenbrenner yang diadaptasi dalam konteks literasi menyoroti bagaimana interaksi antara individu dengan lingkungan mikro (keluarga dan sekolah) sangat menentukan minat dan kemampuan membaca.

Program-program seperti "Merdeka Belajar" yang mengintegrasikan teknologi digital dalam pendidikan harus diimbangi dengan penguatan budaya literasi berbasis buku fisik agar tidak kehilangan esensi pembelajaran yang mendalam.

Meski demikian, ada kabar baik bahwa kegemaran membaca di Indonesia menunjukkan tren positif.

Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) dan Tingkat Gemar Membaca (TGM) mengalami peningkatan pada tahun 2024, meskipun masih dalam kategori sedang.

Ini merupakan hasil kerja keras berbagai pihak, termasuk Perpustakaan Nasional dan pemerintah daerah, yang berupaya memperluas akses buku dan meningkatkan kualitas pendidikan literasi.

Penutup

Hari Buku Sedunia bukan sekadar seremoni, melainkan pengingat bahwa buku--baik fisik maupun digital--adalah jendela dunia yang tak lekang oleh waktu.

Di tengah derasnya arus digital, kembali ke buku fisik bukanlah kemunduran, melainkan sebuah renungan akan hakikat membaca yang menyentuh hati dan pikiran secara utuh.

Indonesia, dengan segala tantangannya, harus mampu membalik halaman sejarah literasi menuju masa depan yang lebih cerah, di mana buku berperan sebagai jembatan pengetahuan dan peradaban.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Senarai Catatan di Hari Buku Sedunia dan Tantangan Literasi Indonesia"

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Kata Netizen
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Kata Netizen
'Financial Freedom' Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
"Financial Freedom" Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
Kata Netizen
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus 'Dosa Sampah' Kita
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus "Dosa Sampah" Kita
Kata Netizen
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Kata Netizen
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Kata Netizen
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan 'Less Cash Society'?
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan "Less Cash Society"?
Kata Netizen
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Kata Netizen
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Kata Netizen
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Kata Netizen
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Kata Netizen
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Kata Netizen
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Kata Netizen
Menerangi 'Shadow Economy', Jalan Menuju Inklusi?
Menerangi "Shadow Economy", Jalan Menuju Inklusi?
Kata Netizen
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Terpopuler
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau