
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pada tahun ajaran baru (2025/26), Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah akan kembali memberlakukan penjurusan: IPA, IPS, dan Bahasa.
Ini artinya, boleh dibilang bahwa baru satu tahun (ajaran) penghapusan jurusan di SMA berlangsung. Siswa tentu belum dapat merasakan secara utuh.
Sebab, siswa yang masuk pada tahun ajaran 2023/2024, yaitu Kelas X, pada tahun ajaran 2024/2025, yaitu Kelas XI baru merasakan kebebasan karena penjurusan tak diberlakukan.
Lalu, pada tahun ajaran 2025/2026, siswa termaksud, yang sangat mungkin sudah pindah kelas, yaitu ke Kelas XII, apakah tetap dapat merasakan kebebasannya? Atau, harus menyesuaikan ke era ini, yaitu era diberlakukannya penjurusan?
Baik siswa termaksud tetap dapat merasakan kebebasannya maupun harus menyesuaikan ke era diberlakukannya penjurusan, sudah pasti sama-sama mengalami rasa yang berbeda. Yaitu, rasa kurang nyaman.
Sebab, kalau tetap dapat merasakan kebebasannya, berarti siswa termaksud tak memenuhi diberlakukannya penjurusan.
Tetapi, kalau harus menyesuaikan ke era diberlakukannya penjurusan, pada tahun pelajaran sebelumnya, siswa termaksud sudah dibersamai guru dalam keadaannya yang diberi kebebasan.
Betapa pun mereka akhirnya menjadi obyek dalam konteks ini. Padahal, sejatinya, mereka sebagai subyek. Pihak yang terus berproses secara nyaman, aman, gembira, dan bahagia dalam keberlangsungan pendidikan.
Perubahan selalu membawa dampak. Apalagi perubahan yang terjadi dalam kurun waktu yang relatif singkat, seperti diberlakukannya penjurusan ini yang sebelumnya dalam waktu yang singkat pula penjurusan dihapus.
Ibaratnya, baru saja memulai mengenal bagian luarnya, yang belum sampai ke kedalamannya, tiba-tiba berubah. Siapa pun yang melihat atau mengetahui akan memiliki kesan bahwa yang menjadi pusat perhatian bukan siswanya, tetapi kebijakan atau programnya.
Padahal, yang mengalami efek siswanya. Yaitu, efek psikologis. Si bungsu yang kini duduk di Kelas XI, misalnya, merasa kurang.
Sebab, belum tuntas setahun mengenal kebebasan, tanpa penjurusan maksudnya, tetiba dikabarkan ada penjurusan. Bagaimana mungkin psikologi anak tak terganggu? Pasti merasa terganggu.
Program yang diberlakukan, baik penjurusan dihapus maupun penjurusan diberlakukan, tak kena efek apa pun.
Tak terganggu. “Keduanya” tak pernah mengalami rasa kurang nyaman. Berlangsung begitu saja. Sebab, memang, baik penjurusan dihapus maupun penjurusan diberlakukan bukan manusia, bukan siswa. “Keduanya” adalah program.
Jadi, selama ini, yang menjadi pusat perhatian adalah programnya. Program dapat diubah kapan saja. Sesuai dengan kehendak yang mengubah. Baru berjalan setahun, misalnya, lalu mau diubah, bisa saja diubah.
Terkait dengan penerimaan peserta didik baru (PPDB), yang kini diubah menjadi seleksi penerimaan murid baru (SPMB), misalnya, pernah diberlakukan bahwa siswa dalam zona tak boleh mengambil Jalur Prestasi di dalam zonanya, tetapi harus di luar zona.
Di daerah saya dan keluarga berdomisili, kebijakan ini hanya berlaku satu tahun. Sebab, pada tahun ajaran berikutnya, siswa dalam zona boleh mengambil Jalur Prestasi di dalam zonanya.
Jadi, siswa yang gagal diterima melalui Jalur Zonasi, masih boleh mengambil Jalur Prestasi, meskipun di dalam zonanya.
Pemberlakuan kebijakan ini bukan mustahil berlaku juga di daerah lain. Hanya lama keberlangsungannya dapat saja berbeda. Sebab, setiap daerah memiliki konteks yang berbeda.
Di beberapa daerah, termasuk di daerah kami berdomisili, sudah dilangsungkan penandatanganan Pakta Integritas SPMB 2025 yang obyektif, transparan, akuntabel, berkeadilan, dan tanpa diskriminasi.
Para pejabat daerah, di antaranya adalah Bupati, Wakil Bupati, Kajari, Kapolres, Kepala Dinas Pendidikan, Dandim, dan Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Provinsi.
SPMB yang obyektif, transparan, akuntabel, berkeadilan, dan tanpa diskriminasi yang pada tahun ajaran 2025/2026 diberlakukan memuat perubahan kalau dibandingkan dengan PPDB yang diberlakukan selama ini.
Salah satunya adalah adanya Jalur Domisili sebagai penyempurnaan Jalur Zonasi yang pada era PPDB ditengarai banyak kelemahannya.
Tentu membutuhkan peran positif dan konstruktif banyak pihak untuk mewujudkan SPMB yang obyektif, transparan, akuntabel, berkeadilan, dan tanpa diskriminasi.
Hanya dengan cara bekerja sama yang saling mendukung dan melengkapi dari banyak pihak inilah, akhirnya diperoleh kenyamanan bagi semua, baik masyarakat, sekolah, maupun pemerintah.
Dengan begitu, dalam hal yang dimaksud tak ada perubahan lagi. Program atau kebijakan ini tetap dapat diberlakukan meskipun berada dalam era kepemimpinan yang berbeda. Artinya, pemimpin era baru masih memberlakukan karya pemimpin era sebelumnya.
Kalau demikian yang terjadi, seloroh dalam dunia kependidikan “ganti menteri ganti kebijakan” tak mungkin terdengar di telinga kita.
Tetapi, kalau hingga sekarang kadang masih terdengar seloroh semacam ini dapat menjadi tanda bahwa masyarakat masih menghadapi adanya perubahan-perubahan termaksud.
Yang melegenda adalah adanya perubahan kurikulum. Kurikulum Nasional, yang ditetapkan dari Kurikulum Merdeka oleh pemerintah sejak tahun ajaran 2024/2025, ternyata sejak Kabinet Merah Putih muncul istilah yang dekat dengan kurikulum, yaitu Deep Learning.
Dengan munculnya istilah ini, suara yang berkembang secara cepat di masyarakat adalah kurikulum yang sudah digunakan segera akan diganti.
Kemendikdasmen segera merespons bahwa Deep Learning bukanlah kurikulum, tetapi pendekatan pembelajaran.
Sekalipun seperti ini, tetap saja istilah Deep Learning menjadi bahan perbincangan di antara guru, juga masyarakat awam yang acuh terhadap dunia pendidikan. Ujung perbincangan selalu mengarah ke pemikiran bahwa kurikulum yang sudah diberlakukan segera akan diganti.
Hingga kini, sekolah masih menerapkan Kurikulum Merdeka yang sudah ditetapkan menjadi Kurikulum Nasional. Deep Learning yang dimaksudkan oleh Kemendikdasmen belum terasa di sekolah.
Meskipun sejatinya, esensi Deep Learning sudah dilakukan oleh guru di dalam proses pembelajaran bersama siswa selama ini. Misalnya, guru telah membersamai siswa dalam memahami materi yang kontekstual, berpikir secara kritis, dan belajar secara menyenangkan.
Sehingga, ketika Deep Learning yang dimaksudkan oleh Kemendikdasmen diimplementasikan, tak memulainya dari nol. Modal yang sudah ada, kualitasnya tinggal ditingkatkan saja.
Dengan begitu, yang selama ini guru (telah) melakukan tetap ada manfaatnya. Sekaligus, ini sebagai bentuk menghargai keberadaannya.
Dilakukan dengan pengembangan, tak penghilangan, yang dibutuhkan dalam menumbuhkembangkan siswa inilah yang disebut menghargai yang sudah ada. Yang sudah ada tak terkurangi, tetapi justru ditambah untuk melengkapinya.
Memang tak selalu mesti bisa seperti ini. Contohnya, rencana diadakan tes kompetensi akademik (TKA) yang sebelumnya tak ada. Sebab, beberapa tahun terakhir ini, tepatnya sejak 2021 ujian nasional (UN) dihapus.
UN mengarah ke menguji siswa terkait dengan mata pelajaran (mapel) yang diajarkan. Jadi, lebih mengukur perihal kognisi siswa.
Asesmen nasional (AN) yang meliputi asesmen kemampuan minimal (AKM), survei karakter, dan survei lingkungan belajar sebagai pengganti UN, tak melulu mengukur kognisi siswa. Tetapi, juga hendak melihat karakter siswa dan kondisi lingkungan belajar.
Sekalipun UN telah dihapus, siswa tetap menghadapi ujian, yaitu ujian sekolah (US). Hanya, US pada tahun 2025 sangat mungkin US yang terakhir.
Sebab, selanjutnya diberlakukan TKA, khususnya di jenjang sekolah menengah atas (SMA) berlaku sejak 2025. Sementara itu, untuk jenjang di bawahnya mulai diberlakukan pada tahun berikutnya.
Proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5) yang selama ini berjalan, dengan memuat enam dimensi, kini diubah memuat tujuh dimensi. Adanya perubahan ini sempat terjadi perbincangan di masyarakat yaitu bahwa P5 diganti dengan P7.
Tetapi, Kemendikdasmen sudah memastikan bahwa tak ada upaya mengganti P5 menjadi P7. Yang diganti, tepatnya diubah, adalah profil lulusan yang semula berdimensi 6, ke depan profil lulusan berdimensi 8.
Profil lulusan berdimensi delapan, terdiri atas Keimanan dan Ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), Kewargaan, Kreativitas, Kemandirian, Komunikasi, Kesehatan, Kolaborasi, dan Penalaran Kritis
Mungkin saja masih ada elemen lain di bidang pendidikan yang belum terungkap seperti di atas, yang dapat dimasukkan ke dalam gagasan perubahan atau penggantian.
Baik yang sudah terungkap seperti di atas maupun yang belum terungkap menjadi indikasi bahwa pendidikan kita, sebenarnya, masih dalam fase mencari.
Proses mencari ini memang sangat penting dalam bidang pendidikan. Sebab, pendidikan memang harus mengikuti perkembangan zaman.
Hanya, di dalam proses mencari ini harus mengedepankan kenyamanan, keamanan, kegembiraan, dan kebahagiaan siswa belajar dan guru mengajar. Artinya, menempatkan mereka, siswa dan guru, di atas setiap ada kebijakan baru di bidang pendidikan.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Pendidikan Kita Itu Masih dalam Fase Mencari"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang