Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pemerintah sering menunjuk perusahaan, perusahaan menyalahkan petani kecil, dan petani menyebut tidak punya pilihan. Maka, api menyala dan asap menyebar ke Singapura, Malaysia, bahkan ke ranjang anak-anak sekolah di Pekanbaru.
Antara Sawit dan Kepentingan Ekonomi
Di mata kebijakan ekonomi, lahan gambut sering dilihat sebagai "ruang potensial". Pemerintah pusat maupun daerah mendorong ekspansi perkebunan sawit sebagai komoditas unggulan penyumbang devisa.
Sawit memang penting secara ekonomi, namun yang jadi masalah adalah kalkulasi ekologis dan sosial yang diabaikan.
Dalam banyak kasus, kawasan gambut utuh ditetapkan menjadi area produksi. Bahkan, proyek food estate pun sempat menyasar kawasan gambut Kalimantan Tengah yang akhirnya gagal dan menyisakan kerusakan ekosistem.
Kebijakan yang tidak berbasis ekologi, minim keterlibatan warga lokal, dan terlalu mengejar target ekonomi jangka pendek, menjadi bom waktu lingkungan hidup.
Siapa yang Menjaga Ketika Negara Lalai?
Di balik semua itu, masih ada harapan. Di banyak desa pinggiran rawa, komunitas lokal berjuang memulihkan dan melindungi lahan gambut mereka. Mereka bukan akademisi, bukan pejabat, tapi ibu-ibu petani, kelompok nelayan, hingga pemuda desa.
Contohnya, di Jambi dan Kalimantan Barat, kelompok masyarakat yang didampingi pemerintah dan NGO seperti BRIN, WALHI, Yayasan Konservasi Alam Nusantara, berhasil merehabilitasi ratusan hektar gambut.
Mereka membuat sumur bor pencegah kebakaran, menanam kembali vegetasi asli, dan menjalankan ekonomi berbasis gambut berkelanjutan seperti budidaya jelutung atau kopi rawa.
Mereka membuktikan bahwa konservasi tidak butuh seragam dinas, hanya butuh kesadaran dan kolaborasi.
Ketimpangan Perhatian dan Minimnya Komitmen
Meski berperan strategis, lahan gambut jarang jadi prioritas. Dalam skema Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia terkait perubahan iklim, kontribusi restorasi gambut masih minim dibandingkan kehutanan atau energi.
Revisi regulasi perlindungan gambut pun kerap dipermainkan. Setelah Presiden Jokowi membentuk BRG (Badan Restorasi Gambut) pada 2016, harapan sempat tumbuh. Namun ketika lembaga ini dilebur pada 2021, banyak program restorasi mandek.
Komitmen internasional seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) pun lebih fokus ke transisi energi, padahal mitigasi iklim tropis sangat membutuhkan penyelamatan ekosistem gambut.