Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Marcko Ferdian
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Marcko Ferdian adalah seorang yang berprofesi sebagai Mahasiswa. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Menelisik Manfaat dan Harapan Gambut Tropis Indonesia

Kompas.com - 25/06/2025, 15:34 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Ada yang perlu diketahui ketika Indonesia yang dimemiliki harta karun ekologis yang paling berharga, yakni gambut tropis.

Namun, yang kini jadi pertanyaan adalah bagaimana jadinya justru seperti dilupakan oleh "tuannya" sendiri?

Seringkali gambut akan masuk berita saat dia terbakar, sehingga kabut asap terjadi, dan akhirnya citra negara di mata dunia tercoreng.

Padahal, di luar musim kemarau dan krisis kebakaran, gambut menyimpan kisah panjang tentang perlawanan, ketimpangan perhatian, dan harapan yang disuarakan dari pinggiran. 

Di tengah derasnya investasi sawit, ekspansi industri, dan geliat pembangunan, lahan gambut seolah hanya jadi ruang kosong yang menunggu untuk ditaklukkan.

Namun siapa sangka, justru di balik rawa-rawa gelap yang terlihat "tak produktif" itulah, tersimpan jutaan ton karbon dan masa depan ekosistem kita.

Apa dan Mengapa Gambut Itu Penting?

Gambut terbentuk dari timbunan bahan organik seperti daun dan kayu yang membusuk perlahan di lingkungan basah dan minim oksigen, selama ribuan tahun. Proses ini menciptakan penyimpan karbon alami yang sangat efisien.

Indonesia, memiliki sekitar 13,4 juta hektar lahan gambut, dan menyimpan lebih dari 28 miliar ton karbon. Ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan cadangan karbon gambut terbesar di dunia.

Jika gambut dikeringkan atau dibakar, karbon ini akan lepas ke atmosfer dan mempercepat laju pemanasan global. Jadi dalam hal ini, gambut bukan sekadar "tanah basah" tapi sebagai perisai bumi dari krisis iklim.

Dari Surga Ekologis Menjadi "Neraka" Asap

Sungguh ironi memang, gambut lebih sering muncul di media bukan karena keunggulannya, melainkan karena bencana kabut asap tahunan. Tahun 2015 misalnya, kebakaran lahan gambut di Indonesia menyebabkan lebih dari 1,6 miliar ton emisi CO, melebihi emisi tahunan negara-negara industri.

Sebagian besar kebakaran tersebut terjadi di lahan gambut yang telah dikeringkan dan dibuka untuk perkebunan sawit dan akasia.

Praktik ini dilakukan dengan pembakaran sebagai metode termurah. Meskipun dilarang, pengawasan yang kurang ketat menyebabkan praktik ini berulang terjadi.

Siapa yang bertanggung jawab? 

Pemerintah sering menunjuk perusahaan, perusahaan menyalahkan petani kecil, dan petani menyebut tidak punya pilihan. Maka, api menyala dan asap menyebar ke Singapura, Malaysia, bahkan ke ranjang anak-anak sekolah di Pekanbaru.

Antara Sawit dan Kepentingan Ekonomi

Di mata kebijakan ekonomi, lahan gambut sering dilihat sebagai "ruang potensial". Pemerintah pusat maupun daerah mendorong ekspansi perkebunan sawit sebagai komoditas unggulan penyumbang devisa.

Sawit memang penting secara ekonomi, namun yang jadi masalah adalah kalkulasi ekologis dan sosial yang diabaikan.

Dalam banyak kasus, kawasan gambut utuh ditetapkan menjadi area produksi. Bahkan, proyek food estate pun sempat menyasar kawasan gambut Kalimantan Tengah yang akhirnya gagal dan menyisakan kerusakan ekosistem.

Kebijakan yang tidak berbasis ekologi, minim keterlibatan warga lokal, dan terlalu mengejar target ekonomi jangka pendek, menjadi bom waktu lingkungan hidup.

Siapa yang Menjaga Ketika Negara Lalai?

Di balik semua itu, masih ada harapan. Di banyak desa pinggiran rawa, komunitas lokal berjuang memulihkan dan melindungi lahan gambut mereka. Mereka bukan akademisi, bukan pejabat, tapi ibu-ibu petani, kelompok nelayan, hingga pemuda desa.

Contohnya, di Jambi dan Kalimantan Barat, kelompok masyarakat yang didampingi  pemerintah dan NGO seperti BRIN, WALHI, Yayasan Konservasi Alam Nusantara, berhasil merehabilitasi ratusan hektar gambut.

Mereka membuat sumur bor pencegah kebakaran, menanam kembali vegetasi asli, dan menjalankan ekonomi berbasis gambut berkelanjutan seperti budidaya jelutung atau kopi rawa.

Mereka membuktikan bahwa konservasi tidak butuh seragam dinas, hanya butuh kesadaran dan kolaborasi.

Ketimpangan Perhatian dan Minimnya Komitmen

Meski berperan strategis, lahan gambut jarang jadi prioritas. Dalam skema Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia terkait perubahan iklim, kontribusi restorasi gambut masih minim dibandingkan kehutanan atau energi.

Revisi regulasi perlindungan gambut pun kerap dipermainkan. Setelah Presiden Jokowi membentuk BRG (Badan Restorasi Gambut) pada 2016, harapan sempat tumbuh. Namun ketika lembaga ini dilebur pada 2021, banyak program restorasi mandek.

Komitmen internasional seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) pun lebih fokus ke transisi energi, padahal mitigasi iklim tropis sangat membutuhkan penyelamatan ekosistem gambut.

Dari Krisis ke Harapan: Jalan ke Depan

Gambut bukan masalah lingkungan semata, ia adalah masalah tata kelola, keadilan sosial, dan masa depan generasi. Jika dikelola dengan benar, lahan gambut bisa menjadi sumber pangan lokal, penyimpan karbon, serta benteng terhadap banjir dan kebakaran.

Pemerintah bisa melakukan 4 cara ini ke depan:

1. Meninjau ulang izin industri di kawasan gambut
2. Memperkuat peran masyarakat lokal sebagai pengelola
3. Memberi insentif terhadap produk-produk ramah gambut
4. Memasukan gambut dalam kurikulum pendidikan sejak dini

 

Suara dari Rawa-Rawa

Jika kita bersikap jujur, masyarakat pinggiran gambut tak pernah benar-benar meminta dunia untuk menyelamatkan mereka. Mereka hanya ingin dibiarkan menjaga apa yang telah dijaga leluhur mereka selama ratusan tahun.

Namun kita yang tinggal di kota, menghirup udara bersih, dan duduk di ruang ber-AC, punya utang. Utang untuk tidak membiarkan mereka berjuang sendiri di tengah api, sawit, dan harapan.

Karena jika penjaga iklim ini padam, bukan hanya rawa yang mengering, tapi juga masa depan kita semua.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Di Antara Api, Sawit dan Harapan Gambut Tropis Indonesia"

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Sudah Tidak Mau Pelihara, Kok Malah Hewannya Dibuang?
Sudah Tidak Mau Pelihara, Kok Malah Hewannya Dibuang?
Kata Netizen
Ragam Makanan Aceh Besar, Mana Jadi Favoritmu?
Ragam Makanan Aceh Besar, Mana Jadi Favoritmu?
Kata Netizen
Sudah Siapkah Menerima Bapak Rumah Tangga di Sekitar Kita?
Sudah Siapkah Menerima Bapak Rumah Tangga di Sekitar Kita?
Kata Netizen
Akan Tiba Satu Masa, Anak Enggan Diajak Pergi
Akan Tiba Satu Masa, Anak Enggan Diajak Pergi
Kata Netizen
Me Time ala Ibu-Ibu, Ngamar Sendiri di Hotel
Me Time ala Ibu-Ibu, Ngamar Sendiri di Hotel
Kata Netizen
Sugar Coating, antara Sopan Santun dan Kepalsuan Sosial
Sugar Coating, antara Sopan Santun dan Kepalsuan Sosial
Kata Netizen
Perpustakaan Sidoarjo dan Upaya Menjaga Literasi
Perpustakaan Sidoarjo dan Upaya Menjaga Literasi
Kata Netizen
Bata Setop Produksi Sepatu, Kini Tinggal Kenangan...
Bata Setop Produksi Sepatu, Kini Tinggal Kenangan...
Kata Netizen
Musim Hujan Datang dan Jalan Raya yang Menggenang
Musim Hujan Datang dan Jalan Raya yang Menggenang
Kata Netizen
Ini 4 Olahan Makanan Lokal Toraja untuk MBG
Ini 4 Olahan Makanan Lokal Toraja untuk MBG
Kata Netizen
Apakah Perlu Izin Tetangga Sebelum Kita Pelihara Hewan?
Apakah Perlu Izin Tetangga Sebelum Kita Pelihara Hewan?
Kata Netizen
Usia 30an Ganti Karier, Apa yang Mesti Disiapkan?
Usia 30an Ganti Karier, Apa yang Mesti Disiapkan?
Kata Netizen
Mencecap Keautentikan Lontong Kupang di Alun-alun Bangkalan
Mencecap Keautentikan Lontong Kupang di Alun-alun Bangkalan
Kata Netizen
Jika Kebijakan Minim Bacaan, Ada Risiko Maksimal ke Depannya
Jika Kebijakan Minim Bacaan, Ada Risiko Maksimal ke Depannya
Kata Netizen
Jalan-jalan ke IIBF 2025, Dapat Apa Ya?
Jalan-jalan ke IIBF 2025, Dapat Apa Ya?
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau