
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Ingat kapan terakhir kali kamu menulis tangan? Untuk urusan apa? Lalu, apakah masih terbaca tulisannya?
Bukan hanya itu, ketika kita masih membaca, berbicara, dan menghitung, apakah mungkin suatu hari nanti kita sudah tak lagi bisa menulis satu katapun dengan tangan sendiri?
Anak-anak masa kini tumbuh di dunia yang serba digital, yang mana mengetik menggantikan menulis, suara menggantikan huruf, dan layar menggantikan kertas.
Dan pertanyaannya bukan lagi apakah menulis tangan akan punah, tetapi kapan?
Zaman Mulai Bergeser
Dulu, awal pendidikan selalu dimulai dengan latihan menulis huruf demi huruf. Pensil, buku garis tiga, dan huruf sambung adalah simbol masa kecil yang melekat kuat pada hampir semua generasi. Menulis tangan bukan hanya tugas; ia adalah proses pembentukan diri.
Namun sekarang, pemandangan itu berubah. Anak-anak lebih cepat belajar menyentuh dan menggeser layar daripada menggenggam pensil.
Buku catatan berganti dengan aplikasi. Materi pelajaran diketik. PR dikumpulkan via Google Docs.
Bahkan tanda tangan, yang selama ribuan tahun menjadi simbol personal paling otentik, kini digantikan oleh fingerprint, Face ID, dan tombol "Setujui."
Dalam dunia yang semakin cepat dan digital, menulis tangan mulai dianggap lambat, repot, dan tidak relevan.
Apa yang Membuat Menulis Tangan Tak Tergantikan?
Di permukaan, menulis tangan mungkin tampak seperti keterampilan teknis semata. Tapi jika kita lihat lebih dalam, ia adalah penghubung antara tubuh, pikiran, dan emosi.
Menulis tangan bukan hanya membuat kata-kata muncul di kertas, tapi membentuk cara kita memahami dunia.
1. Proses Fisik dan Mental yang Terintegrasi
Menulis tangan mengaktifkan lebih banyak area otak dibanding mengetik. Gerakan tangan yang menggores huruf membangun jalur memori yang kuat, memperkuat konsentrasi, dan meningkatkan daya tangkap informasi.
2. Perlambatan yang Menghadirkan Kesadaran
Karena menulis tangan lebih lambat, ia memaksa otak untuk berhenti, menyusun kalimat, dan memikirkan makna. Ini menciptakan momen refleksi yang tidak terjadi saat kita mengetik secara impulsif di layar.
3. Keunikan dan Jejak Personal
Tidak ada tulisan tangan yang sama persis. Dalam tiap goresan, tekanan tinta, atau bentuk huruf, tersimpan keunikan pribadi, bahkan emosi. Ini tidak bisa disalin oleh mesin. Tulisan tangan menyimpan "suara batin" yang tak terdengar oleh AI mana pun.
Menuju Generasi Tanpa Tulisan Tangan?
Gejalanya sudah jelas:
Menulis tangan bukan lagi keterampilan dasar. Ia menjadi kegiatan langka, lalu akan menjadi keterampilan eksklusif, dan pada akhirnya bisa berakhir sebagai warisan budaya---diajarkan di kelas seni, bukan di kelas bahasa.
Apa yang Sebenarnya Kita Kehilangan?
Ketika menulis tangan tak lagi dipraktikkan, kita kehilangan lebih dari sekadar gaya komunikasi. Kita kehilangan:
Lebih dari itu, kita kehilangan salah satu bentuk kehadiran penuh. Karena saat kita menulis dengan tangan, tidak ada notifikasi masuk, tidak ada auto-correct, tidak ada gangguan. Hanya kita dan pikiran kita.
Apakah Ini Tidak Terelakkan?
Mungkin. Tapi tidak semua hal yang praktis harus kita adopsi sepenuhnya, dan tidak semua yang lambat berarti tidak berguna.
Menulis tangan, meskipun dianggap tidak efisien, justru menawarkan nilai-nilai yang paling dibutuhkan dalam dunia modern: keheningan, koneksi, dan ketulusan.
Ini adalah hal-hal yang membuat kita tetap manusiawi dalam dunia yang makin terotomatisasi.
Akankah Kita Biarkan Ini Terjadi?
Pertanyaan kuncinya adalah apakah kita peduli jika generasi masa depan tidak bisa menulis tangan?
Jika kita tidak peduli, maka tak perlu waktu lama hingga menulis tangan hanya menjadi catatan sejarah.
Tapi jika kita sadar bahwa menulis tangan adalah bagian dari cara manusia berpikir, merasa, dan terhubung secara otentik, maka kita masih punya waktu untuk merawatnya.
Bukan dengan memaksakan kembali cara lama, tapi dengan memberi ruang bagi anak-anak untuk tetap menyentuh kertas, mencoret kata, dan menulis perasaannya dengan tangannya sendiri, meski hanya sesekali.
Karena Tidak Semua Harus Diketik
Teknologi memang membuat hidup lebih mudah. Tapi tidak semua hal bernilai bisa atau harus digantikan oleh teknologi.
Beberapa hal perlu dipertahankan bukan karena fungsinya, tapi karena maknanya. Menulis tangan adalah salah satunya.
Dan mungkin, suatu hari nanti, saat semua orang bisa bicara pada layar dan berpikir lewat AI, akan ada satu anak yang dalam diam menulis surat dengan tangannya.
Mungkin surat itu tidak cepat, tidak rapi, bahkan ada salah ejaan. Tapi surat itu jujur. Penuh rasa. Manusiawi. Dan mungkin, dunia akan terasa lebih utuh kembali.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Di Masa Depan, Siapa yang Masih Bisa Menulis Tangan?"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang