
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Sebera sering kita membaca papan pengumuman "Dilarang buang sampah di sini"? Apakah tidak jauh dari papan tersebut justru tetap ada sampah?
Ya, seperti itu realitas lingkungan yang biasa kita lihat sehari-hari. Seringnya kata larangan tersebut dibumbui dengan doa dan ancaman berbau mistis, yang konon lebih dipercaya dibanding ancaman hukum.
Minggu lalu, saya menengok tanah yang baru berpindah kepemilikan. Letaknya lumayan terpencil, di antara deretan kontrakan dan gang perumahan yang tidak beraturan.
Karena telah lama kosong, tanah tersebut dijadikan "tempat sampah" dadakan oleh warga sekitar. Ya, para warga membuang sampah di sana, dan membakarnya setiap beberapa minggu.
Fenomena seperti ini bukan hanya sekali-dua kali terjadi. Sudut jalan, lahan kosong, hingga aliran kali dan sungai memang kerap dijadikan lokasi timbunan sampah.
Alasannya pun beragam, mulai dari kemudahan membuang, ketidakpedulian hingga tidak adanya akses pemungutan sampah oleh petugas TPA/TPST.
Kebiasaan Membakar Sampah Sembarangan
Selain menimbun sampah di lahan kosong, membakar sampah juga merupakan cara yang sering dipilih warga yang tidak terjangkau petugas TPA/TPST.
Secara kasat mata, sampah yang dibakar memang hilang. Namun jika lihat lebih dalam, mereka hanya berubah jadi partikel kecil yang masih atau bahkan lebih berbahaya.
Sampah plastik misalnya, yang dapat menerbangkan ribuan mikroplastik ketika dibakar. Mikroplastik itu kemudian mengendap lagi di tanah dan tanaman yang kita makan, terbang bersama udara yang kita hirup, dan mengalir di air yg kita minum.
Pemerintah sendiri telah mengeluarkan larangan pembakaran sampah pada Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Dalam Pasal 29 ayat 1 huruf G menyatakan bahwa setiap orang dilarang membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah.
Sayangnya banyak orang yang tidak tahu ataupun tidak peduli dengan peraturan ini. Padahal ada atau tidaknya peraturan, membakar sampah tetaplah membahayakan.
Melansir dari HaloDoc, pembakaran sampah bisa menciptakan uap yang mengandung zat beracun seperti karbon dioksida, karbon monoksida, nitrogen oksida, hidrokarbon dan gas beracun lainnya.
Karbon monoksida sendiri diungkap U.S. Environmental Protection Agency, merupakan zat yang paling banyak memicu penyakit pernapasan seperti ISPA.
Terlebih jika yang dibakar adalah sampah plastik atau logam berkarat, maka material seperti dioksin, Benzo(a)pyrene (BAP) dan polyaromatic hydrocarbons (PAHs), bisa menyebar dan telah terbukti menyebabkan kanker.
Memupuk Kesadaran dan Kepedulian terhadap Sampah
Memupuk kesadaran dan kepedulian terhadap sampah memang bukan perkara mudah.
Di kawasan perkotaan tempat saya bekerja, masih banyak ditemukan sampah gelas kopi dan puntung rokok.
Padahal mereka yang menyampah adalah para pekerja gedung tinggi Ibukota yang memiliki pendidikan minimal sarjana.
Kapan lalu, saya menjumpai pengendara mobil yang membuang sekantong sampah ke aliran kali.
Hal ini seolah membuktikan bahwa status sosial dan pendidikan tidak berpengaruh terhadap tingkat kepedulian terhadap sampah.
Lantas, Apa yang Bisa Dilakukan?
Lagi-lagi edukasi. Keluarga bisa menjadi tempat edukasi pertama yang dapat membentuk karakter peduli sampah untuk anak-anak.
Mulailah dengan membiasakan rumah selalu bersih, sediakan tempat sampah di sudut rumah, dan tanamkan rasa malu jika harus membuang sampah di jalan.
Pemerintah juga diharapkan dapat memperbanyak tempat sampah terutama di ruang publik serta memperluas akses pemungutan sampah ke daerah perkampungan. Sanksi tegas juga wajib diberlakukan bagi para pembuang sampah sembarangan.
Jika membuang sampah saja kita masih sembarangan, bagaimana kita mau beralih untuk hidup minim sampah?
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Ironi Hidup Berdampingan dengan Sampah"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang