
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Jika berkesempatan mengunjungi Tana Toraja, selain menikmati keindahan alamnya, coba sesekali ikuti acara yang masih dijaga sampai saat ini, yakni ma'papura.
Ma'papura merupakan acara kedukaan warga Muslim masyarakat Tana Toraja untuk mempererat toleransi
Dalam setiap pelaksanaan upacara kedukaan, toleransi selalu nampak di dalamnya. Satu dalam ikatan keluarga dan kekerabatan.
Toleransi adalah satu hal yang masih sangat terawat dengan sangat baik di Tana Toraja.
Meskipun pengaruh budaya dari luar sudah mulai masuk dibawa oleh para pendatang dari daerah lain, tetapi kekuatan hubungan kekeluargaan sangat memperkuat toleransi antar umat beragama di daerah yang disebut pula sebagai Bumi Lakipadada ini.
Ma'papura adalah acara kedukaan bagi warga Muslim di Tana Toraja. Ma'papura dapat diartikan sebagai acara penutup/penghabisan. Kata "pura" dalam bahasa Toraja artinya habis.
Ma'papura dilakukan oleh warga Muslim dari kalangan NU. Seperti yang kami hadiri pada hari Minggu, 13 Juli 2025 di Kampung Kaluku, Kelurahan Salubarani, Kecamatan Gandangbatu Sillanan.
Prosesi Ma'papura bagi almarhum dilakukan pada hari ke-17 kematiannya. Sebelumnya, telah dilakukan prosesi ma'bongi tallu (malam ketiga) dan ma'pitu (malam ketujuh).
Dengan selesainya prosesi ma'papura, maka seluruh rangkaian acara untuk almarhum telah selesai. Ma'papura juga biasa dilakukan pada malam ke-40 atau malam ke-100. Tergantung kesepakatan keluarga.
Kembali ke toleransi antar umat beragama di Tana Toraja dalam prosesi ma'papura. Warga dan keluarga yang datang mengikuti acara ini bukan hanya Muslim, melainkan dari kepercayaan lain juga.
Kehangatan sangat terasa saat kami yang non-Muslim datang dan disambut dengan penuh keramaian oleh pihak keluarga Muslim. Tak ada jarak sama sekali, bersalaman dan berpelukan oleh ibu-ibu.
Sebelum masuk dalam acara inti ma'papura, didahului dengan jamuan tamu di pondok (lantang) khusus untuk tamu.
Kopi dan aneka penganan khas Toraja tersaji. Mereka yang melayani adalah rumpun keluarga dan tetangga. Berhijab dan tidak berhijab menyatu dalam ramah-tamah. Tidak ada jarak, semua menyatu.
Di bagian protokol, tokoh masyarakat dan tokoh adat secara bergantian melakukan prosesi mantawa putu' karua (membagi daging tanda hubungan keluarga dari pihak almarhum). Ini adalah momen yang ditunggu di acara ma'papura.
Pembacaan silsilah dari almarhum dilakukan. Kedua orang tua almarhum dibacakan silsilahnya.
Dalam prosesi ini, terdapat beberapa silsilah nenek dan tongkonan yang dibacakan. Setiap perwakilan keluarga akan mendapatkan potongan daging kerbau dan tetuk (wadah makanan dari daun pisang) berisi nasi dan daging kerbaunyang telah dimasak.
Setelah acara mantawa putu' karua, dilanjutkan dengan acara utama, yakni ibadah menurut ajaran Islam. Rangkaian ibadah dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-qur'an. Lalu diikuti oleh ceramah dari seorang ustadz.
Uniknya, semua orang yang hadir tidak ada yang pulang. Muslim, Kristen, Katolik dan penganut kepercayaan yang hadir duduk tertib dalam pondok.
Inilah penghargaan dalam prosesi ma'papura antar umat beragama, khususnya di kampung saya, Salubarani.
Di akhir acara, dilakukan makan bersama. Setiap orang yang hadir dalam pelataran duka, mendapat satu paket nasi berisi beberapa potong daging kerbau. Sangat spesial karena kami makan memakai wadah daun (tetuk).
Nasi dan daging kerbau mengeluarkan aroma harum khas yang wangi dan mengundang selera makan.
Ma'papura pada hakekatnya mirip dengan acara Rambu Solo'. Ada kedukaan, prosesi ibadah, pertemuan keluarga dan saling menguatkan satu sama lain tanpa memandang latar belakang agama dan kepercayaan.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Ma'papura, Toleransi dan Keunikannya di Tana Toraja"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang