Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Setiap tanggal 17 Agustus 2025, jutaan rakyat Indonesia akan menyanyikan lagu "Indonesia Raya" karya W.R. Supratman. Tidak ada yang memedulikan kegaduhan yang dicetuskan LMKN sehingga merembet ke soal royalti lagu "Indonesia Raya" itu.
Beberapa tulisan sudah menyangkalnya. Jika pun hendak dikutip royalti dari hak ekonomi lagu kebangsaan itu, ia sudah kadaluarsa sejak 1945 atau sejak 1 Januari 2009.
Lagu "Indonesia Raya" telah menjadi domain publik terhitung sejak meninggalnya pencipta selama 70 tahun. Wage Rudolf Supratman meninggal pada 17 Agustus 1938 jika menggunakan UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Lagu "Indonesia Raya" yang khidmat dan berenergi itu diciptakan tahun 1920 dan diperdengarkan kali pertama pada saat Kongres Pemuda I, 28 Oktober 1928.
Publikasi tertulis berupa notasi dan teks lagu yang masih berjudul "Indonesia" dilakukan oleh koran Sin Po pada 10 November 1928 karena koran itu kebanjiran surat pembaca yang meminta lagu itu dimuat.
Dua tahun kemudian, 1930, Pemerintah Hindia Belanda melarang publikasi lagu itu, tetapi W.R. Supratman tetap menyebarkannya secara sembunyi-sembunyi.
Tidak ada catatan sejarah bahwa sebagai pencipta, W.R. Supratman menginginkan karyanya itu diberi royalti---dengan situasi dan kondisi pada saat itu.
Bahkan, setelah Pemerintah Indonesia menyatakannya sebagai lagu kebangsaan resmi, ahli warisnya pun tidak berpikir ke arah itu, kecuali memperjuangkan pengakuan seorang W.R. Supratman disebut pahlawan nasional.
Lagu "Indonesia Raya" telah menjadi simbol negara dan milik publik (domain publik) sejak 1945---bukan 1 Januari 2009 jika menggunakan dasar UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Di dalam UU Hak Cipta yang menjadi dasar pembentukan LMKN itu juga disebutkan bahwa ciptaan dapat dialihkan melalui pewarisan, hibah, perjanjian tertulis, atau sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
W.R. Supratman wafat sebelum Indonesia Merdeka dan sebelum adanya UU Hak Cipta. Pengakuan resmi dalam bentuk regulasi termuat pada UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lagu Kebangsaan.
Artinya, pada saat itu 1 Januari 2009, lagu "Indonesia Raya" telah menjadi domain publik, apalagi jika menggunakan UUHC Nomor 19 Tahun 2002 yang masih menyatakan suatu ciptaan menjadi domain publik terhitung 50 tahun setelah penciptanya meninggal.
Beberapa kali saya ke Solo, baru kali ini saya mengunjungi Lokananta Bloc. Ternyata museum musik itu baru dibuka 3 Juni 2023, pantas saya belum pernah melihatnya meskipun sering melewati pada tahun 2010--2011.
Lokananta didirikan tahun 1956 sebagai pabrik piringan hitam pertama dan studio rekaman milik negara. Salah satu tugas utamanya adalah mendokumentasikan lagu-lagu perjuangan dan resmi negara.
Pemerintah Indonesia merasa perlu memiliki rekaman "Indonesia Raya" yang berkualitas baik untuk digunakan secara nasional dan internasional. Lalu, Lokananta ditugaskan merilis "Indonesia Raya" versi resmi yang baru dikerjakan pada 1959.
Format awal berbentuk piringan hitam (vinyl) yang langsung didistribusikan ke berbagai instansi pemerintah, sekolah, dan kedutaan besar sebagai versi baku "Indonesia Raya".
Versi resmi rekaman "Indonesia Raya" dibawakan oleh Orkes Simfoni Radio Republik Indonesia (RRI) dengan aransemen yang disesuaikan sehingga hingga kini menjadi acuan dalam upacara kenegaraan. Karena Lokananta berstatus perusahaan negara (PN Lokananta), rekaman tersebut menjadi bagian dari arsip musik nasional kini.
Mungkin juga yang dimaksud oleh LMKN itu, pemutaran lagu "Indonesia Raya" versi aransmen dan produksi Lokananta tahun 1959 yang dikenai royalti.
Kembali, soal itu tidak berdasar jika lagu itu merupakan Arsip Nasional yang juga berstatus domain publik.
Demikian, sekian.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Indonesia Raya dan Lokananta"
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!