Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Mengapa seseorang yang dulu dikenal sangat berdedikasi di tempat kerjanya tiba-tiba berubah menjadi sosok yang acuh?
Apakah loyalitas memang bisa pudar? Atau justru lingkungan kerja yang belum mampu merawat semangat itu?
Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin terasa dekat dengan kita. Apalagi di sekitar kita, pasti ada kisah tentang karyawan yang bertahun-tahun mengabdi, memberikan yang terbaik.
Namun, perlahan kehilangan gairahnya. Apa yang sebenarnya terjadi — dan apa pelajaran yang bisa kita ambil?
Jejak Panjang Loyalitas yang Menguji Hati
Saya pernah mengalami masa refleksi serupa. Dua puluh dua tahun mengabdi di sebuah lembaga pendidikan bukanlah waktu yang sebentar. Dengan segala dinamika yang ada, saya tetap berusaha bertahan, memberi, dan setia.
Namun, di tengah rasa bangga itu, saya mendengar kisah sahabat saya. Ia sudah lama bekerja di sebuah perusahaan besar.
Dulu dikenal rajin dan penuh inisiatif, kini ia berubah: lebih pendiam, bekerja seperlunya, dan tidak lagi menunjukkan semangat yang sama.
Saat saya menanyakannya dalam sebuah pertemuan santai di kafe, jawabannya membuat saya terdiam. Saya pun tak punya hak untuk menyalahkan pilihannya.
Mengapa Loyalitas Bisa Pudar?
Fenomena seperti ini bukan hal baru. Banyak orang yang dulunya loyal perlahan menjadi “pekerja sesuai jam”: datang, bekerja secukupnya, lalu pulang tanpa banyak bicara.
Tidak ada lagi energi ekstra, tidak ada lagi semangat memberi lebih dari yang diminta.
Ironi ini kerap muncul karena satu hal: minimnya apresiasi. Atasan terbiasa dengan kesigapan seorang karyawan, rekan kerja terbiasa dengan dedikasinya, hingga lupa bahwa ia pun manusia yang butuh dihargai.
Ide-ide yang diabaikan, kerja keras yang dianggap wajar, atau suara yang tidak pernah didengar—semua itu menumpuk menjadi kelelahan emosional.
Seperti pepatah, “Loyalitas akan tumbuh subur jika dihargai, tetapi akan layu ketika diabaikan.”
Ketika Mencari Panggung Baru
Saat ruang di dalam organisasi terasa sempit, seseorang akan mencari panggung lain. Dan sering kali, di situlah ia justru bersinar.
Ada karyawan yang bertahun-tahun mengusulkan perbaikan sistem di kantornya, namun selalu dipandang remeh.
Sedangkan di tempat kerja, ia memilih diam. Tetapi di luar, ia aktif di komunitas profesional. Idenya dihargai, bahkan dijadikan rujukan nasional. Tak lama, ia menjadi pembicara seminar, membangun jejaring, hingga meraih penghargaan.
Ada juga staf administrasi dengan bakat desain yang tak pernah dianggap relevan di kantornya.
Setelah membagikan karyanya di media sosial, ia justru mendapatkan apresiasi luas. Karyanya dilirik figur publik, tawaran kolaborasi berdatangan, dan kini ia dikenal sebagai kreator yang berdampak.
“Ketika ruang di dalam sempit, seseorang akan mencari panggung di luar. Tak jarang, di sanalah ia bersinar.”
Kehilangan yang Sering Terlambat Disadari
Bagi lingkungan kerja, perubahan ini adalah sinyal. Ketika seorang karyawan mulai bersikap cuek, itu tanda awal kelelahan emosional. Ketika ia berprestasi di luar, itu pertanda kantor gagal menyediakan ruang yang sehat.
Sayangnya, banyak organisasi baru menyadari nilai seseorang setelah ia benar-benar pergi. Loyalitas yang dulu dianggap biasa, baru terasa mahal setelah hilang.
Belajar dari Ironi Loyalitas
Pelajaran pentingnya jelas: loyalitas bukan sesuatu yang otomatis, melainkan tumbuh dari perasaan dihargai.
Menghargai tak selalu berarti memberi bonus besar atau jabatan tinggi. Kadang apresiasi sederhana, pengakuan kecil, atau sekadar kesempatan untuk bicara sudah cukup menjaga semangat tetap menyala.
Organisasi yang sehat adalah organisasi yang mampu membuat orang merasa manusiawi: didengar, dihargai, dan diberi ruang berkembang.
Cermin untuk Kita Semua
“Ironi loyalitas” ini seharusnya menjadi cermin bagi kita. Jangan tunggu seseorang bersinar di luar baru kita sadar nilainya.
Sebab di balik sikap dingin yang tampak acuh, bisa jadi tersimpan kisah panjang tentang loyalitas yang tak pernah dihargai.
Pertanyaannya, apakah kita sudah cukup menghargai orang-orang di sekitar kita? Ataukah kita justru menunggu hingga mereka pergi untuk menyadari betapa berharganya mereka?
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Ironi Loyalitas: Hilang di Dalam, Bersinar di Luar"
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini