Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Masihkah ruang kelas menjadi tempat belajar yang aman, atau kini berubah menjadi panggung konten?
Sampai kapan kita membiarkan murid dan guru saling merekam, diunggah di media sosial sebagai konten dan tanpa batas?
Di era media sosial, hampir setiap momen terasa ingin diabadikan. Dari hal remeh seperti kucing takut timun, hingga peristiwa serius seperti kecelakaan di jalan raya.
Budaya ini pun merambah ke sekolah. Ruang kelas yang seharusnya menjadi tempat belajar, kini kerap menjelma panggung konten.
Video murid dipermalukan, guru yang marah besar direkam diam-diam, atau kasus bullying yang kemudian viral—pemandangan ini makin sering kita jumpai.
Awalnya mungkin dianggap “seru” dan lucu, tetapi lama-lama kita terbiasa menontonnya. Seolah-olah hal itu normal.
Padahal, setiap kali ada yang menekan tombol “rekam” di ruang kelas, ada perasaan, reputasi, bahkan masa depan anak-anak yang dipertaruhkan.
Fenomena Normalisasi Video di Sekolah
Kini konten yang merekam kehidupan sekolah seolah tak ada habisnya. Video murid ribut diunggah ke TikTok, video guru kehilangan kesabaran tersebar di Instagram, hingga video murid di-bully beredar luas di grup WhatsApp.
Komentar yang muncul pun beragam: “Biar guru kapok,” “Seru kan, bisa viral,” atau “Namanya juga anak-anak sekarang.” Inilah yang disebut normalisasi—sesuatu yang salah, tetapi karena sering terjadi dan ditonton, lama-lama dianggap biasa.
Dampak yang Tidak Sederhana
Untuk Murid
Bayangkan seorang murid kelas 7 salah menjawab soal. Temannya iseng merekam, lalu videonya diunggah dengan caption yang mempermalukan.
Dalam hitungan jam, ratusan komentar menghujani. Nama anak itu terikat dengan satu kesalahan kecil yang kini tersebar luas.
Inilah trauma digital—berbeda dengan ejekan di kelas yang hilang seiring waktu, jejak digital bisa bertahan bertahun-tahun.