Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Untuk Guru
Guru juga bisa menjadi korban. Video guru marah atau menegur murid sering tersebar tanpa konteks.
Potongan singkat membuat guru dicap kasar atau tidak profesional, padahal ia mungkin sedang menegakkan disiplin. Wibawa guru pun terkikis.
Untuk Sekolah
Sekolah yang viral karena video negatif otomatis tercoreng reputasinya. Orang tua khawatir, murid merasa tidak aman, dan lingkungan belajar berubah menjadi panggung konten, bukan ruang pembelajaran.
Mengapa Kamera Begitu Gampang Diangkat?
Ada beberapa faktor yang membuat tangan kita “gatal” mengangkat kamera di sekolah:
Budaya Konten
Kita hidup di era di mana momen dianggap lebih “berharga” jika terekam. Efeknya terbawa ke ruang kelas. Hal-hal yang wajar—murid mengantuk, guru bercanda—mendadak jadi bahan konten. Padahal, batas privasi pelan-pelan terkikis.
Dorongan Viral
“Like” dan “share” menjadi “mata uang” baru. Video yang dianggap lucu atau dramatis mendatangkan views dan komentar. Dorongan untuk mendapat pengakuan digital sering lebih kuat daripada rasa empati terhadap orang yang direkam.
Rendahnya Literasi Digital
Banyak orang belum memahami jejak digital. Guru pun kadang ikut mengabadikan momen murid tanpa memikirkan dampaknya.
Padahal, merekam dan menyebarkan video tanpa izin bukan hanya persoalan etika, tetapi juga persoalan hukum—UU Perlindungan Anak dan UU ITE mengatur jelas perlindungan privasi dan martabat anak.
Bijak Menyikapi Era Media Sosial
Fenomena merekam murid dan guru lalu menyebarkannya bukan masalah yang selesai dengan larangan semata. Kita butuh langkah-langkah bijak agar teknologi tetap bermanfaat tanpa mengorbankan privasi.
1. Edukasi Literasi Digital Sejak Dini
Murid harus belajar sejak awal bahwa tidak semua momen layak direkam atau dibagikan.