Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Kira-kira, adakah hidangan yang membuatmu "kembali" merasakan pengalaman masa lalu hingga cerita-cerita menarik di belakangnya?
Itulah yang saya alami ketika perjalanan kerja di Pulau Madura berujung pada satu momen kuliner tak terlupakan: menyantap Lontong Kupang di Bangkalan.
Perjalanan tiga hari ke Pulau Madura sebenarnya bukan untuk berwisata, melainkan membantu kerabat mengambil sampel tanah di daerah pesisir.
Selama itu pula kami berhenti di beberapa pantai sebelum akhirnya kembali ke titik awal, Kabupaten Bangkalan.
Bangkalan menjadi titik terakhir sekaligus tempat melepas lelah setelah menempuh perjalanan panjang. Meski kaki kanan sempat bengkak karena terlalu lama duduk di kendaraan, rasa penasaran akan kuliner khas Madura tidak surut.
Menjelang tiba di penginapan, pandangan saya tertuju pada sebuah gerobak motor di pinggir Alun-alun Bangkalan.
Gerobak itu menjual Lontong Kupang—makanan khas yang sudah lama saya dengar kelezatannya. Tanpa pikir panjang, saya meminta sopir untuk memutar balik.
Sebentar saja saya menyingkirkan kekhawatiran tentang kadar kolesterol atau asam urat. Hidangan laut memang sering disebut pemicu masalah kesehatan, tetapi kali ini saya memutuskan untuk menikmati pengalaman kuliner sepenuhnya.
Penjual Lontong Kupang itu ternyata berasal dari Kenjeran, Surabaya. Ia setiap hari melintasi Jembatan Suramadu sepanjang 5,4 kilometer—jalur penghubung Surabaya dan Bangkalan—demi menawarkan cita rasa autentik kepada pembeli di Alun-alun Bangkalan.
Sejak dibukanya jembatan ini, mobilitas warga dan pedagang menjadi lebih lancar, membuat kuliner-kuliner khas Jawa Timur kian mudah dijumpai di Madura.
Saya memesan satu porsi untuk dimakan di tempat. Sambil menunggu, saya menyaksikan langsung bagaimana penjual meracik hidangan tersebut: bawang putih, cabai rawit, petis berwarna cokelat, dan perasan jeruk nipis diulek di piring.
Potongan lontong, empat tusuk sate kerang, kupang (kerang putih kecil), kuah berbahan air kelapa, lentho (penganan berbahan singkong), dan bawang putih goreng kemudian menyusul.
Kuahnya tampak lebih bening dan muda dibanding Lontong Kupang yang pernah saya cicipi di Bogor. Rasanya gurih manis, berpadu dengan segarnya perasan jeruk nipis.
Kupang terasa kenyal namun lembut, lontongnya empuk, lentho memberikan sensasi kriuk, dan bawang goreng menambah lapisan rasa. Sate kerang menjadi pelengkap yang sempurna.
Harmonisasi rasa gurih, manis, pedas, dan asamnya menghadirkan sensasi yang membuat saya tak ingin buru-buru berhenti. Ingatan saya melayang pada Lontong Kupang yang pernah saya nikmati di Waru, Sidoarjo, beberapa tahun silam.
Rasanya mirip—seolah-olah saya kembali pada pengalaman lama dengan sentuhan autentik.
Dengan rasa puas dan perut kenyang, saya bangkit dari kursi plastik di trotoar Alun-alun Bangkalan. Meski kaki yang bengkak semakin terasa sakit, hati saya senang.
Penasaran saya terjawab sudah: Lontong Kupang di Bangkalan ini benar-benar menyajikan cita rasa asli yang menggugah selera.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Menyantap Lontong Kupang dengan Rasa Autentik di Bangkalan"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.