
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Hari itu, Rabu (22/20/2025), menjadi puncak dari penantian panjang para petani yang tergabung dalam Kelompok Mekar Mukti di RW 13, Desa Talagasari, Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut.
Petani dipenuhi dengan euforia dan rasa syukur, panen padi yang hasilnya jauh melampaui ekspektasi.
Sepanjang sawah bukanlah panen biasa, melainkan tumpukan gabah yang menjadi bukti nyata keberhasilan kerja keras dan strategi cerdas para petani lokal.
Di bawah terik matahari Kadungora yang hangat, deru aktivitas terdengar bersahutan. Suara sabit yang beradu dengan batang padi, tawa petani yang tak pernah lelah, dan aroma jerami yang khas seolah menjadi harmoni alam yang menandai datangnya musim panen.
Di tengah kesibukan itu, para anggota Kelompok Tani Mekar Mukti tampak begitu kompak. Bahu membahu, mereka mengangkut padi yang menguning penuh isi ke tempat penampungan.
Salah satu di antara mereka, Endang (55), berdiri dengan senyum lega. Wajahnya memancarkan rasa syukur yang tak bisa disembunyikan. Ia adalah sosok yang mencerminkan semangat petani Talagasari: sederhana, tapi pantang menyerah.
“Kalau bukan kita yang merawat lahan ini, siapa lagi?” katanya singkat, sembari menyeka keringat.
Lahan di Desa Talagasari memang dikenal subur. Tapi bagi para petani, kesuburan saja tidak cukup. Mereka percaya bahwa keberhasilan sejati datang dari ketelatenan, disiplin, dan kerja sama. Dalam kelompok ini, setiap petani memiliki peran.
Mereka memantau kelembapan tanah, mengantisipasi serangan hama, hingga mengatur pemberian nutrisi agar pertumbuhan padi maksimal.
“Setiap batang padi kami perlakukan seperti keluarga,” ujar Endang sambil tersenyum. Kalimat sederhana itu menjelaskan segalanya — bahwa di balik setiap bulir beras yang kita nikmati, ada dedikasi tanpa henti yang tumbuh dari tanah dan tangan-tangan yang sabar.
Tak berhenti di kebiasaan lama, para petani Mekar Mukti juga terus belajar. Mereka menggabungkan kearifan lokal dengan teknik modern yang diperoleh dari pelatihan dan pengalaman. Inilah yang membuat hasil panen mereka kali ini berbeda dari sebelumnya.
Angka yang Bicara: Panen yang Mencetak Rekor Baru
Ketika tumpukan gabah mulai membentuk bukit kecil di tepi pematang, tibalah saatnya menghitung hasil. Dan angka yang muncul sungguh luar biasa: rata-rata 8 kuintal gabah dari setiap 100 tumbak lahan.
Angka itu bukan sekadar statistik. Di mata para petani, itu adalah simbol keberhasilan dari kerja keras berbulan-bulan. Sebagai perbandingan, rata-rata hasil panen di wilayah sekitar Kadungora biasanya masih di bawah capaian tersebut.
Gabah yang mereka hasilkan pun memiliki kualitas unggul — bulir padat, berisi, dan berwarna cerah. Tak heran jika hasil panen ini diterima dengan baik oleh pemerintah melalui sistem pembelian resmi. Tidak ada penolakan, tidak ada potongan harga. Semua berjalan mulus.
“Rasanya seperti mimpi,” kata salah satu anggota kelompok. “Kerja keras kami benar-benar berbuah manis.”
Bagi Kelompok Mekar Mukti, ini bukan hanya tentang banyaknya gabah yang terkumpul, tapi juga tentang pembuktian bahwa metode yang mereka jalankan memang berhasil. Bahwa petani bisa maju tanpa harus meninggalkan akar tradisi mereka.
Dampak yang Nyata: Dari Sawah ke Kehidupan Keluarga
Panen raya kali ini membawa perubahan besar di Talagasari. Dengan hasil melimpah, pendapatan keluarga petani pun meningkat signifikan.
Banyak dari mereka kini bisa memperbaiki rumah, menabung untuk pendidikan anak, atau sekadar bernapas lebih lega menghadapi kebutuhan sehari-hari.
Lebih dari itu, keberhasilan ini juga menumbuhkan rasa percaya diri. Para petani kini tahu bahwa kerja sama dan kedisiplinan bisa menjadi kekuatan besar untuk mewujudkan kesejahteraan.
Pemerintah daerah pun memberikan perhatian lebih. Hasil panen Mekar Mukti menjadi contoh bagi kelompok tani lain di Kecamatan Kadungora.
Tak sedikit yang datang belajar, menanyakan cara pengelolaan lahan dan strategi perawatan tanaman mereka.
Bagi Endang dan rekan-rekannya, semua ini bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan panjang. Mereka sudah menyiapkan rencana untuk musim tanam berikutnya — memperbaiki sistem irigasi, meningkatkan efisiensi pupuk, dan terus belajar agar hasilnya semakin baik.
“Panen ini bukan hanya rezeki, tapi juga amanah,” kata Endang. “Kami ingin lahan ini terus memberi kehidupan bagi anak cucu kami nanti.”
Panen Raya yang Jadi Teladan
Panen padi di RW 13, Desa Talagasari, bukan sekadar peristiwa musiman. Ia adalah bukti nyata bahwa ketekunan, inovasi, dan kebersamaan bisa mengubah wajah pertanian desa.
Dengan hasil rata-rata 8 kuintal per 100 tumbak, Kelompok Mekar Mukti membuktikan bahwa kerja keras yang dijalankan bersama mampu menghasilkan sesuatu yang luar biasa — tidak hanya untuk perut, tapi juga untuk harapan.
Talagasari kini bukan sekadar desa penghasil padi, melainkan contoh hidup bahwa pertanian yang dikelola dengan hati akan selalu berbuah manis.
Dari tanah yang sama, tumbuh keyakinan baru: bahwa masa depan petani Indonesia bisa secerah bulir padi yang menguning di bawah sinar matahari Kadungora.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Bukan Sekadar Panen Raya: Ini Hasil Maksimalisasi Lahan oleh Petani Kreatif Kadungora"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang