
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Menegur dengan tegas dianggap kekerasan.
Menegur dengan lembut dianggap tidak berwibawa.
Sebenarnya sampai di mana batas antara “menegur untuk mendidik” dan “bertindak yang melukai”? Di ruang kelas yang mestinya menjadi tempat tumbuh, batas itu kini terasa semakin kabur.
Belakangan, publik kembali dihebohkan oleh video viral seorang kepala sekolah yang dianggap menampar siswanya.
Dalam klarifikasinya, sang kepala sekolah mengaku sempat “memukul pelan” karena menahan emosi saat menegur siswa yang kedapatan merokok.
Peristiwa itu seketika menyebar di media sosial, menimbulkan perdebatan panjang: apakah itu bentuk kedisiplinan, atau sudah termasuk kekerasan?
Kini, guru hidup di masa yang serba rumit. Mereka dituntut tegas tanpa kehilangan empati, mendidik tanpa menyinggung perasaan, dan menjaga wibawa di tengah generasi yang tumbuh di dunia digital — cepat tersulut, cepat pula menyebar. Satu rekaman singkat bisa mengubah ruang kelas menjadi ruang sidang publik.
Dari Rotan ke Restorasi
Generasi 1990-an mungkin masih ingat masa ketika cubitan, rotan, atau hukuman berdiri dianggap bagian dari proses mendidik.
Namun zaman berubah. Paradigma baru pendidikan kini mendorong penerapan Disiplin Positif — pendekatan yang menekankan dialog, refleksi, dan tanggung jawab tanpa kekerasan fisik.
Psikolog anak Seto Mulyadi berulang kali mengingatkan, menegur boleh, asal tidak mempermalukan. Teguran seharusnya menyadarkan, bukan melukai.
Beberapa sekolah mulai menerapkan restorative circle, sebuah forum duduk bersama antara guru, murid, dan orangtua untuk mencari solusi tanpa hukuman fisik.
Meski masih terbatas, pendekatan ini memberi harapan bahwa disiplin bisa tetap ditegakkan tanpa meninggalkan rasa kemanusiaan.
Namun perubahan tak semudah teori. Guru di sekolah negeri menghadapi kelas besar, administrasi menumpuk, dan ekspektasi sosial yang tinggi. Dalam tekanan itu, menjaga emosi bukan hal mudah.
Antara Tegas dan Viral
“Dulu murid takut salah, sekarang guru takut viral.” Kalimat ini mungkin terdengar satir, tapi menggambarkan realitas pendidikan hari ini.