
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Apakah perubahan rasa pada pangan lokal sekadar soal selera zaman, atau tanda bahwa ada tradisi yang perlahan kita tinggalkan? Pertanyaan inilah yang kerap muncul setiap kali saya diminta menulis tentang pangan lokal.
Bagi saya, makanan tradisional tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu membawa cerita, ingatan, dan jejak identitas yang melekat sejak masa kanak-kanak.
Setiap kali topik pangan lokal hadir, ingatan saya hampir selalu kembali ke kampung halaman—tempat saya pertama kali mengenal rasa, aroma, dan ritme hidup yang sederhana. Dari sekian banyak makanan, peuyeum menempati ruang khusus dalam ingatan itu.
Namun, peuyeum yang kini mudah ditemukan di etalase pusat oleh-oleh terasa begitu berbeda dengan peuyeum yang dulu saya kenal.
Perbedaan itu bukan hanya soal rasa, melainkan jarak antara masa lalu dan masa kini, antara tradisi yang hidup dan tuntutan zaman yang serba praktis.
Sebelum melangkah lebih jauh, ada satu catatan kecil yang perlu saya sampaikan. Dalam keseharian di kampung, kami tidak pernah menyebut makanan hasil fermentasi singkong itu sebagai tapai. Bagi kami, namanya selalu peuyeum.
Ketika berbicara dengan orang di luar komunitas Sunda, barulah istilah tape digunakan sebagai padanan dalam bahasa Indonesia. Itulah istilah yang hidup dan dipraktikkan dalam keseharian kami.
Belakangan, saya membaca sejumlah tulisan yang membedakan tapai singkong dan peuyeum sebagai dua produk berbeda, terutama dari sisi tekstur dan daya simpan. Saya tidak menafikan kajian tersebut.
Namun, dari pengalaman masa kecil saya, peuyeum yang dulu dijajakan hangat oleh pedagang keliling justru lebih dekat dengan gambaran tapai yang kini sering dibicarakan.
Perbedaan istilah ini memperlihatkan bahwa makanan tradisional selalu bergerak mengikuti konteks budaya.
Bagi saya pribadi, peuyeum dalam ingatan tetaplah peuyeum—bukan versi kering yang tahan lama, bukan pula sekadar komoditas oleh-oleh.
Peuyeum masa kecil saya hidup dari kehangatan ragi. Ia bukan barang pajangan, melainkan bagian dari keseharian.
Dijajakan oleh penjual keliling dengan pikulan bambu, dibungkus daun pisang, masih hangat dari peraman, dan aromanya seolah mengundang siapa pun untuk mendekat.
Rasanya lembut, sedikit basah, manisnya tidak berlebihan, dan ada sensasi hangat yang menandakan proses fermentasi masih berlangsung.
Peuyeum seperti itu tidak dibuat untuk bertahan lama. Dalam dua atau tiga hari, teksturnya akan semakin lembek dan berair.