Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
agus hendrawan
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama agus hendrawan adalah seorang yang berprofesi sebagai Guru. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Kini Peuyeum Tak Lagi Hangat

Kompas.com, 16 Desember 2025, 16:49 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Apakah perubahan rasa pada pangan lokal sekadar soal selera zaman, atau tanda bahwa ada tradisi yang perlahan kita tinggalkan? Pertanyaan inilah yang kerap muncul setiap kali saya diminta menulis tentang pangan lokal.

Bagi saya, makanan tradisional tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu membawa cerita, ingatan, dan jejak identitas yang melekat sejak masa kanak-kanak.

Setiap kali topik pangan lokal hadir, ingatan saya hampir selalu kembali ke kampung halaman—tempat saya pertama kali mengenal rasa, aroma, dan ritme hidup yang sederhana. Dari sekian banyak makanan, peuyeum menempati ruang khusus dalam ingatan itu.

Namun, peuyeum yang kini mudah ditemukan di etalase pusat oleh-oleh terasa begitu berbeda dengan peuyeum yang dulu saya kenal.

Perbedaan itu bukan hanya soal rasa, melainkan jarak antara masa lalu dan masa kini, antara tradisi yang hidup dan tuntutan zaman yang serba praktis.

Sebelum melangkah lebih jauh, ada satu catatan kecil yang perlu saya sampaikan. Dalam keseharian di kampung, kami tidak pernah menyebut makanan hasil fermentasi singkong itu sebagai tapai. Bagi kami, namanya selalu peuyeum.

Ketika berbicara dengan orang di luar komunitas Sunda, barulah istilah tape digunakan sebagai padanan dalam bahasa Indonesia. Itulah istilah yang hidup dan dipraktikkan dalam keseharian kami.

Belakangan, saya membaca sejumlah tulisan yang membedakan tapai singkong dan peuyeum sebagai dua produk berbeda, terutama dari sisi tekstur dan daya simpan. Saya tidak menafikan kajian tersebut.

Namun, dari pengalaman masa kecil saya, peuyeum yang dulu dijajakan hangat oleh pedagang keliling justru lebih dekat dengan gambaran tapai yang kini sering dibicarakan.

Perbedaan istilah ini memperlihatkan bahwa makanan tradisional selalu bergerak mengikuti konteks budaya.

Bagi saya pribadi, peuyeum dalam ingatan tetaplah peuyeum—bukan versi kering yang tahan lama, bukan pula sekadar komoditas oleh-oleh.

Peuyeum masa kecil saya hidup dari kehangatan ragi. Ia bukan barang pajangan, melainkan bagian dari keseharian.

Dijajakan oleh penjual keliling dengan pikulan bambu, dibungkus daun pisang, masih hangat dari peraman, dan aromanya seolah mengundang siapa pun untuk mendekat.

Rasanya lembut, sedikit basah, manisnya tidak berlebihan, dan ada sensasi hangat yang menandakan proses fermentasi masih berlangsung.

Peuyeum seperti itu tidak dibuat untuk bertahan lama. Dalam dua atau tiga hari, teksturnya akan semakin lembek dan berair.

Halaman:

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Kenapa Topik Uang Bisa Jadi Sensitif dalam Rumah Tangga?
Kenapa Topik Uang Bisa Jadi Sensitif dalam Rumah Tangga?
Kata Netizen
Urgensi Penataan Ulang Sistem Pengangkutan Sampah Jakarta
Urgensi Penataan Ulang Sistem Pengangkutan Sampah Jakarta
Kata Netizen
Kini Peuyeum Tak Lagi Hangat
Kini Peuyeum Tak Lagi Hangat
Kata Netizen
Membayangkan Indonesia Tanpa Guru Penulis, Apa Jadinya?
Membayangkan Indonesia Tanpa Guru Penulis, Apa Jadinya?
Kata Netizen
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Kata Netizen
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Kata Netizen
'Financial Freedom' Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
"Financial Freedom" Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
Kata Netizen
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus 'Dosa Sampah' Kita
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus "Dosa Sampah" Kita
Kata Netizen
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Kata Netizen
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Kata Netizen
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan 'Less Cash Society'?
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan "Less Cash Society"?
Kata Netizen
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Kata Netizen
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Kata Netizen
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Kata Netizen
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau