
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Namun justru di situlah keistimewaannya. Ia jujur pada proses, tanpa ambisi untuk tampil cantik atau awet. Ada hubungan personal antara pembuat, penjual, dan pembeli.
Kami saling mengenal, berbincang singkat, bahkan menanyakan bagaimana hasil peraman hari itu. Peuyeum bukan sekadar makanan, melainkan pengalaman sosial yang hangat.
Kontras terasa ketika melihat peuyeum masa kini tergantung rapi di pusat oleh-oleh. Tampilannya seragam, kering, dan tahan disimpan berminggu-minggu.
Dari sudut pandang bisnis, tentu ini sebuah keberhasilan. Namun dari sisi rasa dan pengalaman, ada sesuatu yang hilang. Teksturnya lebih padat, manisnya lebih kuat namun datar, dan aromanya tak lagi menyapa dari kejauhan. Sensasi hangat dan “hidup” yang dulu saya kenal perlahan memudar.
Saya tidak hendak merendahkan pelaku industri oleh-oleh. Mereka bergerak sesuai kebutuhan zaman. Wisatawan membutuhkan produk yang praktis dan tahan lama. Toko memerlukan stok yang stabil.
Distribusi menuntut efisiensi. Semua itu masuk akal. Namun, di balik logika tersebut, ada satu pertanyaan yang terus mengusik: ke mana peuyeum masa lalu pergi?
Jawabannya mungkin terletak pada perubahan ritme hidup kita. Pedagang pikulan kian jarang ditemui.
Belanja berpindah ke toko-toko permanen. Proses peraman disesuaikan agar hasilnya lebih kering dan stabil. Nah, yang paling terasa, waktu—yang dulu menjadi bagian dari proses memasak—kini menjadi barang langka.
Saya masih ingat membantu ibu menyiapkan singkong, mengukusnya, menaburkan ragi, lalu menunggunya bersama.
Ada kesabaran dan kebersamaan dalam proses itu. Kini, saya pun harus mengakui bahwa kesibukan membuat saya tak lagi melakukan hal-hal sederhana semacam itu.
Jika saya yang tumbuh dengan peuyeum saja mulai menjauh, apalagi generasi yang tidak pernah memiliki pengalaman serupa.
Di titik itulah saya menyadari bahwa yang hilang bukan semata rasa, melainkan gaya hidup yang melahirkan rasa tersebut.
Kerinduan saya pada peuyeum masa lalu sejatinya adalah kerinduan pada keaslian—pada sesuatu yang tidak dipoles berlebihan, tidak direkayasa demi pasar, dan tidak semata dikemas demi estetika.
Saya tidak berharap waktu berputar kembali. Perubahan adalah keniscayaan. Namun, ada harapan sederhana yang ingin saya titipkan: jangan biarkan tradisi rasa hilang hanya karena kita terlalu sibuk untuk merawatnya.
Pangan lokal akan tetap hidup bukan hanya karena resep atau bahan bakunya, melainkan karena ada orang-orang yang mau menjaga cerita, ingatan, dan cara pembuatannya.
Lewat tulisan ini, saya ingin mengingatkan diri sendiri bahwa ada rasa yang tak boleh hilang. Rasa yang mengingatkan kita pada asal-usul. Rasa yang membuat kita pulang—jika bukan secara fisik, setidaknya lewat ingatan.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Ke Mana "Peuyeum" Masa Lalu?"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang