Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Kereta Rel Listrik (KRL) Commuterline merupakan moda transportasi favorit yang digemari warga Jabodetabek. Selain karena tarif yang ekonomis, juga relatif bebas macet.
Sejak akhir Desember 2022, Pemerintah berencana untuk membedakan tarif KRL bagi orang kaya dan miskin. Sehingga, tarif KRL orang kaya akan dinaikkan sementara orang miskin akan mendapat tarif subsidi. Wacana ini pun langsung menimbulkan ragam respons karena implementasinya yang terlalu sulit.
Apakah nanti akan ada gerbong orang kaya dan miskin atau tiket orang kaya dan miskin akan diberi warna yang berbeda? Misal orang kaya memakai tiket warna merah dengan kartu tertulis orang kaya, dan orang miskin dengan tiket warna kuning dan tertulis orang miskin.
Bagaimana jika seandainya tiketnya dipindahtangankan? Apakah petugas setiap saat harus memeriksa orangnya?
Lalu bagaimana membedakan pengguna KRL orang kaya dan orang miskin? Apa dari penghasilan setiap tahun, sehingga yang penghasilan kotor lebih 5 juta sebulan maka termasuk kaya?
Rasanya wacana kenaikan taril KRL berdasarkan status ekonomi penumpang hanya ada di negeri tercinta ini.
Di puluhan negara lain yang transportasinya sudah baik, umumnya tidak pernah ada perbedaan tarif berdasarkan kaya dan miskin.
Di Doha atau Dubai misalnya, metro dibedakan berdasarkan kelasnya, yang mana untuk mendapatkan kelas yang lebih nyaman dapat dibeli oleh siapa saja asalkan mau membayar lebih.
Demikian juga dengan sebagian MRT di Hong Kong yang menuju ke perbatasan Shenzen di Lowu.
Perbedaan layanan dan juga kelas dapat dibeli atas kesediaan penumpang untuk membayar lebih mahal, yang mana tiket boleh dinaikkan tetapi hanya untuk tiket sekali atau dua kali perjalanan. Artinya bagi mereka yang jarang bepergian bisa saja harga tiket dinaikkan.
Sementara itu untuk penumpang yang menjadi pelanggan setia KRL, diberlakukan tiket langganan per bulan yang dibagi dalam zona. Misal zona 1 untuk area Jakarta saja, zona 2 untuk Bekasi Depok dan Tangerang, sementara zona 3 dan 4 untuk Bogor dan Rangkasbitung.
Bagi penumpang yang setiap hari menggunakan KRL, maka bisa membeli tiket langganan yang harganya mungkin sama dengan yang mereka bayar saat ini.
Selanjutnya, bagi mereka yang tidak berlangganan, bisa menggunakan tiket sekali jalan yang mungkin harganya bisa sedikit dinaikkan. Tetapi juga untuk turis atau pendatang bisa diberlakukan tiket untuk 1 hari, 3 hari, atau seminggu dan kalau bisa tiket ini terintegrasi dengan TransJakarta, MRT, LRT dan angkutan umum lainnya. Misal dengan membeli tiket Rp 100.000, maka penumpang dapat menggunakannya selama 3 hari atau tiket satu minggu seharga Rp 175.000
Penggunaan tiket dengan cara seperti ini secara statistik akan meningkatkan penghasilan PT KCI dan juga penyedia angkutan massal lainnya seperti TransJakarta, MRT, serta LRT akan lebih banyak menjaring penumpang, dan pada gilirannya akan membuat PT KCI mampu mengembangkan jaringan dan memberi pelayanan yang lebih baik.
Oleh karena itu, integrasi angkutan umum perkotaan dalam satu wadah merupakan prasyarat mutlak yang harus dilakukan terlebih dahulu.
Banyaknya perusahaan dengan penyedia jasa yang berbeda akan lebih sulit untuk menyediakan angkutan umum yang baik terintegrasi dan terjangkau.
Misalnya saja dibentuk Greater Jakarta Metropolitan Transport Authority. Badan inilah yang mengelola semua bentuk transportasi umum tadi termasuk KRL, LRT, MRT, dan juga TransJakarta.
Itulah sedikit saran yang dapat saya berikan untuk KRL dan pengelola angkutan umum lainnya.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kontroversi KRL Kaya Miskin dan Alternatif Solusinya"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.