Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Anak kecanduan gadget banyak menjadi keluhan bagi kebanyakan orangtua. Tak jarang, kondisi tersebut menjadi tantangan bagi orangtua. Padahal, dampak penggunaan gadget yang berlebihan dapat memengaruhi kesehatan tubuh dan juga psikis.
Biasanya, guna meminimalisir anak kecanduan gadget, orangtua akan mulai bercerita mengenai pengalaman indahnya di masa kecil, seperti bermain kelereng, petak umpet, main kasti, lompat tali, gasing, dan lain sebagainya. Lalu cerita-cerita masa lalu itu menjadi idealisasi yang coba didoktrinkan kepada anak-anak zaman kini, bahwa mereka juga mesti seperti orangtuanya dahulu.
Cerita-cerita orangtua dulu dianggap akan efektif untuk membujuk anak supaya jangan main gadget lagi. Sekadar penambah bujukan dan idealisasi orangtua atas masa lalunya, terkadang terselip kisah bagaimana orang-orangtua dahulu dihukum oleh guru mereka di sekolah secara bengis.
Prototipe dunia sekolah orangtua dahulu dikesankan layaknya serdadu yang mengikuti pelatihan militer.
Guru merupakan komandan yang wajib ditaati, dan siswanya adalah anggota regu yang bergerak sesuai perintah.
Nyatanya, mereka yang mengidealkan hukuman militeristik di sekolah pada masa lalu, kini juga adalah mereka yang mengecam kekerasan yang sama oleh guru terhadap siswa di sekolah, apalagi jika siswa itu anak mereka sendiri.
Sama halnya cerita mengenai permainan dan hiburan anak-anak dahulu, menjadi tidak realistis di masa kini. Selain memang karena ini sudah zamannya gadget, juga karena orangtua kerap mencontohkan melakukan sesuatu yang sesungguhnya mereka larang; mereka melarang anak bermain gadget, pada saat bersamaan, diri mereka --orangtua-- sendiri enggan meletakkan gadget demi bermain bersama anak.
Maka sesungguhnya pelarangan gadget untuk anak merupakan buntut dari tidak berjalannya proses pendidikan di rumah.
Jika pendidikan adalah usaha sadar dan terencana orang dewasa kepada anak demi perubahan tingkah laku dan menuju kedewasaan, maka usaha itu tidak berjalan dengan optimal.
Pendidikan terhadap anak di rumah bukan hanya soal mengajarkan mereka apa-apa yang belum mereka tahu, tetapi juga bagaimana mereka dibentuk menjadi manusia yang mampu berkomunikasi serta menjalin hubungan emosional dengan baik, terutama terhadap gurunya. Jika di dalam rumah tangga, itu dilakukan terhadap orangtua dan saudara-saudaranya.
Masalah yang timbul pada anak lantaran gadget sesungguhnya termasuk dalam rangkaian pola asuh dan pendidikan yang keliru di lingkungan keluarga. Kedekatan anak dengan orangtua, saling pengertian, saling memahami, saling sadar akan posisi (sistem kepemimpinan keluarga), serta keteladanan, akan menjadi sederet faktor penting yang dapat mencegah terjadinya masalah-masalah itu.
Misalnya orangtua yang kurang menyadari bahwa keteladanan adalah yang utama dalam pendidikan, tidak akan sampai kepikiran bahwa melarang anak memegang gadget, yang dia sendiri memegangnya, merupakan sikap memberi contoh yang tidak baik. Lain kata lain perbuatan.
Begitupula dengan sekolah, guru-guru yang melarang siswanya memakai gadget sesungguhnya telah memberikan contoh yang tidak baik, karena mereka guru-guru juga hampir setiap saat disaksikan oleh siswanya sedang memegang gadget.
Lalu apa yang seharusnya dilakukan? Harus memilih di antara dua hal: melarang anak pakai gadget dengan contoh bahwa mereka yang melarang juga tidak boleh pakai gadget, atau mempersilakan anak-anak menggunakan gadget sebagaimana orangtua dan guru juga pakai gadget, namun dengan syarat tertentu.
Ini bukan soal keadilan, melainkan ini soal keteladanan. Ketika Anda melarang anak Anda terhadap sesuatu yang Anda sendiri melakukannya (meski alasannya perbuatan khusus orangtua), maka Anda adalah teladan yang mengecewakan di mata anak Anda sendiri.
Anak-anak itu mungkin tidak akan memprotes kepada Anda secara terang-terangan. Mereka selanjutnya akan mencari-cari tempat lain yang akan menyalurkan rasa penasaran mereka terhadap gadget, di luar sepengetahuan Anda.
Pada taraf ini, mereka akan berani melakukan sesuatu di luar sepengetahuan Anda, termasuk potensi menuruti tuntutan imajinasi yang liar dengan bantuan mesin telusur, aplikasi, serta media sosial seluas-luasnya.
Tidak bisa dipungkiri, gadget adalah bagian dari realitas dunia kini. Amat sangat sedikit manusia (terkecuali di perkampungan yang sangat terpencil) yang hidupnya sepenuhnya di dunia nyata, separuh hidup manusia-manusia kini ada di dunia maya, di layar gadget.
Maka menjauhkan anak dari gadget, itu sama halnya dengan menjauhkan anak dari dunia. Yaitu dunia yang di dalamnya hanya ada orang lain, orangtua mereka, serta teman-teman mereka. Mereka sendiri, anak-anak yang dijauhkan dari gadget itu, menjadi orang asing di dalam kehidupan ini.