Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Ketika pertama kali artikel ini ditulis, saya baru saja selesai menjalani pertemuan dengan para psikiater wakil Asia Tenggara, Hong Kong, Pakistan, dan Taiwan. Saya bersama dr. Erikavitri Yulianti, psikiater dari FK UNAIR hadir mewakili Indonesia di acara ini.
Para anggota dewan penasihat (advisory board) ini berasal dari psikiater di Asia Tenggara, Hong Kong, Pakistan, dan Taiwan. Dalam acara ini, kami membicarakan tentang penemuan terkini di penelitian terkait depresi dan juga perkembangan pengobatan pada praktik masing-masing.
Salah satu masalah kesehatan mental yang paling umum di seluruh dunia adalah gangguan depresi atau yang juga dikenal sebagai depresi klinis.
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), yang merupakan panduan diagnostik terkemuka yang digunakan oleh profesional kesehatan mental, gangguan depresi adalah kondisi yang serius dan kronis yang dapat memengaruhi individu dari segala lapisan masyarakat.
DSM-5 mengidentifikasi beberapa gejala utama yang harus ada untuk mendapatkan diagnosis gangguan depresi. Gejala ini sebagian besar harus berlangsung selama paling tidak dua minggu serta harus memengaruhi kemampuan individu untuk menjalani kehidupan sehari-hari mereka.
Perlu diketahui gejala utama gangguan depresi antara lain sebagai berikut.
Selain gejala utama, DSM-5 juga mencantumkan sejumlah gejala tambahan yang sering terkait dengan gangguan depresi. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.
Saat ini, ada sekitar 90 pedoman terapi untuk depresi dari berbagai negara dan organisasi terkait psikiatri yang ada di dunia. Dari sekian banyak pedoman itu, tentu seringkali membuat adanya sedikit perbedaan dalam melakukan terapi yang dianggap tepat oleh para profesional di bidang kesehatan jiwa dalam praktiknya sehari-hari.
Pada kesempatan pertemuan dengan para psikiater tempo hari, kami sempat membahas soal terapi depresi tersebut dan mengemukakan beberapa hal penting terkait perbedaan pedoman praktis di masing-masing negara dan apa yang kita lakuakn dalam praktik sehari-hari.
Sebagai contoh, penggunaan antidepresan yang saat ini dianggap banyak membantu pasien depresi tentunya memerlukan pertimbangan dalam penggunaannya.
Banyaknya kasus depresi di golongan usia muda yang membutuhkan kemampuan kognitif (cara berpikir) yang cepat di era sekarang ini akan memberikan kondisi yang berbeda dalam penekanan penanganannya.
Antidepresan yang bersifat multimodalitas dan mempunyai kemampuan mengatasi gejala kognitif yang terganggu (hilang konsentrasi, sulit menerima dan menelaah informasi) sangat diperlukan. Salah satu yang menjadi fokus bahasan kali ini adalah antidepresan Vortioxetine yang sudah berada di pasaran Asia Tenggara lebih dari 8 tahun.
Antidepresan ini dianggap memiliki keunggulan dalam mengatasi masalah depresi terkait fungsi kognitif yang menurun terutama pada pasien-pasien anak muda dan juga golongan lanjut usia. Selain itu, antidepresan ini juga dinilai aman pada kasus-kasus komorbid dengan gangguan medis lain seperti gangguan jantung.
Pada akhirnya terapi depresi yang tepat dan dilakukan sesegera mungkin akan membuat kualitas hidup pasien menjadi lebih baik dan bermanfaat untuk menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan produktif.
Salam Sehat Jiwa.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Adakah Obat Terbaik untuk Mengatasi Depresi?"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.