Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pernyataan "Selain donatur dilarang mengatur" yang dilontarkan Michele Halim belakangan ini memicu perdebatan sengit di media sosial. Dari ramainya diskusi tersebut kemudian muncul pertanyaan, siapa yang kira-kira tersindir atas penyataan tersebut?
Sebagian orang menganggap kalimat ini sebagai bentuk materialisme yang menormalisasi hubungan transaksional, sementara yang lain menilai ini sebagai bentuk pembelaan diri terhadap tuntutan yang tidak berdasar.
Seorang content creator pria, menanggapi pernyataan tersebut dengan kontra, mengatakan bahwa "Donatur tidak mengatur, yang mengatur itu pembeli."
Perdebatan ini semakin memanas dan membelah opini masyarakat menjadi dua kubu. Namun, sebelum menilai secara hitam putih, mari kita telaah lebih dalam dari perspektif psikologi dan realitas sosial.
Makna Tersirat: Bukan Sekadar Soal Uang, tapi Soal Peran dalam Hubungan
Banyak orang terburu-buru menyimpulkan bahwa pernyataan Michele murni soal uang dan hubungan transaksional.
Padahal, jika dilihat lebih dalam, ada pesan tersirat yang lebih luas: "Jangan terlalu banyak berkomentar atau menuntut jika tidak memiliki kontribusi nyata."
Kontribusi di sini tidak selalu soal uang, melainkan peran dalam suatu hubungan. Baik itu hubungan asmara, pertemanan, atau profesional.
Dalam psikologi sosial, fenomena ini berkaitan dengan teori keseimbangan hubungan (Balance Theory) yang dikemukakan oleh Fritz Heider.
Seseorang cenderung merasa lebih berhak mengatur atau berpendapat ketika mereka memiliki keterlibatan langsung dalam suatu situasi. Sebaliknya, ketika seseorang tidak memiliki kontribusi, tetapi terlalu banyak menuntut atau mengkritik, ini menciptakan ketidakseimbangan yang memicu resistensi.
Oleh karena itu, kalimat "selain donatur dilarang mengatur" bisa dipahami sebagai mekanisme defensif untuk membungkam suara-suara yang tidak relevan dalam konteks tertentu.
Misalnya, dalam pertemanan, ada saja individu yang suka mengomentari gaya hidup, pekerjaan, atau keputusan seseorang, padahal mereka tidak memiliki peran apa pun dalam kehidupan orang tersebut.
Dalam dunia kerja, sering kali orang luar yang tidak memahami kondisi perusahaan malah sibuk mengatur dan menghakimi.
Dalam hubungan asmara pun sama. Banyak orang merasa berhak menilai pilihan seseorang tanpa benar-benar memahami dinamika yang terjadi.
Mengapa Pernyataan Kontra tersebut Tidak Sepenuhnya Relevan?