Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Ketika menghabiskan waktu di Jawa Timur pada tahun 2014, perjumpaan saya dengan jaringan minimarket semakin akrab. Pada masa itu di saat bersamaan gerai pertama minimarket dibuka di Manado.
Jika dibandingkan dengan yang terjadi di Jawa Timur, seperti katakanlah di Malang, Manado memang mengalami "ketertinggalan" sekitar 14 tahun. Pasalnya, Malang telah memiliki gerai minimarket sejak 22 April 2000.
Sementara untuk gerai minimarket pertama sendiri telah dibuka di Ancol, Jakarta Utara sejak 20 Juni 1988.
Sejak perkenalan dan perjumpaan saya dengan jaringan minimarket ini, rasanya ada daya dorong lain yang menggerakkan desa-desa menuju kota, selain proyek ambisius seperti pembangunan mal, perhotelan, dan perumahan kelas menengah.
Pada masa sekarang, tenaga dorong yang menyeragamkan itu berhubungan dengan konsumsi barang-barang keperluan yang sebelumnya tidak cukup dilayani warung tradisional.
Atau dengan kata lain rangkaian konsumsi kolektif yang dinamis ini adalah upaya memindahkan apa yang membentuk preferensi seseorang sebagai penduduk kota ke desa-desa. Apalagi, jaringan minimarket itu belakangan menyediakan layanan transaksi non-tunai.
Oleh karenanya, kehadiran jaringan gerai minimarket ini akan memberi perubahan pada pola konsumsi orang desa, di samping juga jenis barang yang ditawarkan lebih beragam.
Di lain sisi, bisa juga dikatakan bahwa sejarah perkembangan jaringan minimarket ini menandai gerak ekspansi dari Barat ke Timur.
Ia menandai kisah pergerakan dari pusat (centre) ke pinggiran (periphery), dari wilayah yang padat ke wilayah yang sepi. Dalam ekspansi inilah, kita melihat nasib surut dari warung-warung tradisional yang umumnya berada di sekitar pemukiman.
Tidak sedikit warung-warung kecil yang kemudian tumbang karena kalah saing dengan kemunculan gerai minimarket. Atau jikapun bisa bertahan, mereka akan menggunakan cara yang dibisa-bisakan.
Seperti alunan musik yang getir di pusat napas jelata. Mati segan, hidup ogah-ogahan. Hingga yang tersisa adalah kenang-kenangannya.
Dalam rangka membicarakan kenangan-kenangan itulah, warung kecil sejatinya bukanlah sebuah toko dalam artian fisik dan ekonomi belaka. Pada konteks ini, ia merupakan sebuah tempat yang difungsikan untuk menjual barang-barang keperluan sehari-hari di sebuah permukiman penduduk.
Lebih dari itu, warung sederhana ini juga berperan sebagai unit sosial yang mengantarai hubungan-hubungan sosial yang saling percaya, akrab, dan karena itu harmonis.
"Percakapan tentang keberadaan, nasib, dan kenangan terhadap warung-warung kecil yang berjasa lantas musnah adalah membicarakan bagaimana masyarakat tumbuh dan patah."
Bagi saya, paling tidak ada dua sumbangsih warung kecil ini yang akan selalu membekas dalam ingatan.