Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Suatu pagi, ketika tidak sedang mendapat tugas mengawasi tes sumatif, saya berbincang megenai penerapan "katrol-mengatrol" nilai dalam kurikulum merdeka.
Diskusi ini berangkat dari rasa penasaran, apakah praktik tersebut masih berlangsung atau tidak. Pasalnya, ketika masih menerapkan kurikulum 2013, sebagai guru kami begitu akrab dengan istilah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).
KKM ini digunakan untuk menilai ketercapaian siswa berdasarkan kompetensi dasar pelajaran yang harus dicapai. Selain itu KKM juga diartikan sebagai nilai kesepakatan dalam satuan pendidikan, disesuaikan dengan karakteristik siswa, mata pelajaran, dan kondisi sekolah.
Maka dari itu KKM dapat bersifat majemuk. Artinya setiap mata pelajaran memiliki KKM sendiri atau bersifat tunggal dan ada juga KKM tunggal yang berarti semua mata pelajaran memiliki KKM yang sama.
Ketika ada siswa yang nilainya belum mencapai KKM tersebut, misal 65, 70, atau 75, maka siswa tersebut harus melakukan pengujian ulang sampai nilainya mencapai KKM.
Akan tetapi, sering kali ketika sudah memasuki masa-masa guru harus memasukan nilai akhir siswa ke dalam rapor, masih banyak siswa yang nilainya belum mencapai KKM. Di sinilah guru kerap mengubah nilai siswa tersebut menjadi nilai sesuai KKM agar siswa dapat naik kelas.
Fenomena inilah yang biasa dikenal dengan sebutan guru "mengatrol nilai" siswa. Cara-cara guru mengatrol nilai siswa ini juga bermacam-macam, bisa dengan memberi tugas tambahan atau cara lainnya.
Pada dasarnya, kurikulum merdeka tidak lagi menggunakan istilah KKM, melainkan KKTP (Kriteria Ketercapaian Tujuan Pembelajaran). KKTP ditentukan melalui deskripsi kriteria, rubrik, dan interval nilai.
Meskipun tidak ada lagi KKM, KKTP masih mempertimbangkan nilai selama proses pembelajaran hingga ujian. Guru masih memiliki potensi untuk melakukan "katrol" nilai agar siswa memenuhi KKTP yang telah ditetapkan.
Meski demikian, pertanyaan muncul, mengapa "katrol" nilai harus tetap dilakukan meskipun kurikulum merdeka tidak menggunakan KKM?
Penjelasannya sederhana, pertama, siswa masih harus memenuhi KKTP yang telah ditetapkan. Jika nilai akhir siswa hanya 50, ditambah dengan nilai tes akhir, "katrol" nilai masih diperlukan agar siswa dapat memenuhi KKTP pada kriteria tertentu.
Kedua, adanya istilah "tidak ada siswa yang tidak naik kelas." Di era sekarang, nilai merah tidak boleh muncul di rapor siswa.
Maka dari itu, guru berusaha untuk menuntaskan nilai minimal siswa agar mereka bisa naik ke jenjang berikutnya, meskipun kualifikasinya masih diragukan.
Ketiga, faktor keberlanjutan pendidikan siswa ke jenjang berikutnya, seperti SMP atau SMA/SMK yang masih bergantung pada peringkat nilai rapor.
Keempat, kepentingan untuk menjaga nama baik sekolah. Dalam penentuan zonasi atau prestasi, nilai rapor memainkan peran penting karena setiap sekolah memiliki kuota sendiri.
Hal inilah yang membuat guru terkadang melakukan "katrol" nilai untuk menjaga nama baik sekolah dan mempertahankan prestise di era persaingan sekolah yang ketat.
Sejatinya, ketika seorang guru melakukan praktik "katrol nilai", di dalam hatinya akan terjadi pergolakan, berbagai perasaan akan bercampur aduk dan membuat guru dalam posisi yang serba salah.
Maka dari itu, tanpa evaluasi menyeluruh, terlepas dari kurikulum apapun yang diterapkan, tantangan ini mungkin tetap ada. Dan guru akan tetap diselimuti pertanyaan, "Apakah kita masih seperti yang dulu?"
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Masihkan Guru Mengatrol Nilai Siswa di Kurikulum Merdeka?"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.