Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Tantangan ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia semakin kompleks dengan kenaikan harga beras yang terus merayap naik. Pada titik ini, dibutuhkan upaya konkret dan strategis dari pemerintah untuk menanggapi masalah ini. Salah satu solusi yang menarik perhatian adalah diversifikasi pangan, sebuah langkah proaktif yang dapat memberikan alternatif karbohidrat dan mengurangi ketergantungan pada beras.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduknya memilih beras sebagai sumber utama karbohidrat, kenaikan harga beras tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga menciptakan gejolak dalam kebiasaan makan masyarakat Indonesia. Dalam merespons permasalahan ini, kita perlu merenungi sejarah pertanian dan konsumsi beras di Tanah Air.
Indonesia pernah mencapai swasembada beras pada tahun 1984, sebuah pencapaian besar di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pada waktu itu angka swasembada Indonesia mencapai 27 juta ton. Meski begitu, sayangnya keberhasilan tersebut tidak dapat dipertahankan dalam jangka panjang. Faktor-faktor seperti gagal panen, konversi lahan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat telah membawa Indonesia kembali ke jalur impor beras.
Program diversifikasi pangan bukanlah konsep yang baru di Indonesia. Pada periode sebelumnya, pemerintah telah menginisiasi program-program seperti "Tekad" pada tahun 1974 dan instruksi Presiden tentang sagu pada tahun 1979. Namun, fokus utama pada intensifikasi dan rehabilitasi pertanian untuk produksi beras membuat upaya diversifikasi tidak mencapai hasil optimal.
Pada tahun 1980-1984, pemerintah mengambil langkah nyata dengan mencoba menggencarkan program diversifikasi pangan melalui kerja sama dengan sektor swasta. Hasilnya, mi instan menjadi produk alternatif yang cukup sukses. Namun, keberhasilan ini tidak mampu menggeser dominasi nasi sebagai makanan pokok masyarakat.
Dalam menghadapi kenaikan harga beras, pemerintah saat ini di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi mengambil jalur diversifikasi pangan. Optimalisasi produksi jagung, sorgum, dan sagu menjadi fokus utama untuk mengurangi ketergantungan pada beras. Meskipun langkah ini diharapkan dapat memberikan alternatif yang lebih beragam, tantangan utama muncul dalam mengubah pola konsumsi masyarakat yang telah tertanam kuat.
Pemerintah juga menggalakkan perluasan budidaya sorgum di Indonesia. Pada tahun 2022, area budidaya sorgum di Indonesia tersebar di enam provinsi, yakni NTT seluas 3.400 hektare, Jawa Barat seluas 488 hektare, Kalimantan Barat seluas 305 hektare, Jawa Timur seluas 200 hektare, Jawa Tengah seluas 120 hektare, dan NTB seluas 200 hektare.
Pemerintah bahkan menetapkan target perluasan area budidaya sorgum hingga tahun 2024. Sorgum, dengan kandungan gizi yang tinggi, dianggap sebagai pengganti potensial bagi beras. Roadmap budidaya sorgum ini memberikan gambaran tentang upaya konkret pemerintah dalam mendukung diversifikasi pangan.
Meskipun langkah-langkah konkret telah diambil, tantangan besar masih terlihat di lapangan. Masyarakat Indonesia, terutama yang telah lama mencintai nasi, memiliki kecenderungan untuk sulit berpindah dari kebiasaan konsumsi mereka. Diperlukan pendekatan yang bijaksana, terencana, dan terus menerus untuk mengubah kebiasaan tersebut.
Pemerintah tidak hanya memfokuskan upayanya pada optimalisasi produksi sorgum, tetapi juga pada sosialisasi. Penting untuk memberikan pemahaman yang cukup kepada masyarakat tentang manfaat sorgum dan cara mengolahnya. Langkah ini menjadi sangat penting dalam membangun kesadaran akan keberagaman pangan dan membentuk perilaku konsumsi yang berkelanjutan.
Gerakan "One Day No Rice" yang pernah diinisiasi pada periode 2015-2019 merupakan upaya menciptakan kesadaran akan diversifikasi pangan. Namun, evaluasi perlu dilakukan untuk memahami sejauh mana gerakan tersebut memberikan dampak nyata pada pola konsumsi masyarakat.
Kesadaran akan pentingnya diversifikasi pangan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Masyarakat perlu aktif terlibat dan memiliki pemahaman mendalam mengenai alternatif pangan yang dapat menggantikan beras. Inisiatif lokal, seperti budidaya sorgum di berbagai daerah, dapat menjadi kunci keberhasilan diversifikasi ini.
Keberhasilan strategi diversifikasi pangan tidak hanya diukur dari konsumsi masyarakat saat harga beras melonjak. Diperlukan pendekatan jangka panjang yang menciptakan kebiasaan baru dalam memilih pangan. Gerakan "Hari Ini Nasi, Besok Sorgum, Lusa Jagung" menjadi gambaran ideal menuju masa depan yang beragam dan berdaya tahan.
Menghadapi ketidakpastian harga beras, langkah diversifikasi pangan perlu mendapatkan tempat yang lebih besar dalam agenda pembangunan pangan nasional. Sebuah harapan bahwa masyarakat Indonesia dapat merangkul bahan pangan alternatif seperti sorgum, jagung, dan lainnya sebagai bagian yang setara dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam menghadapi tantangan kenaikan harga beras, diversifikasi pangan menjadi solusi yang menjanjikan. Peran aktif masyarakat, dukungan pemerintah yang berkelanjutan, dan perubahan perilaku konsumsi adalah kunci kesuksesan.
Semoga, dengan langkah-langkah yang terencana dan berkesinambungan, masyarakat Indonesia dapat memiliki kebiasaan makan yang lebih beragam, terjangkau, dan berkelanjutan dalam jangka panjang.
Di samping itu, semoga harga beras kembali normal dalam waktu dekat.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Diversifikasi Pangan Jangan Hanya Saat Harga Beras Naik"