Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pertanyaan seperti "Pakai QRIS apa, Kak?" atau "Pembayaran pakai QRIS transaksi minimal harus Rp10 ribu, Bu" atau "Pembayaran menggunakan QRIS akan ada charge 3%, Pak" masih kerap kita temui saat berbelanja di pasar swalayan atau di supermarket.
Situasi di atas mencerminkan masih adanya kebingungan di kalangan masyarakat terkait penggunaan QRIS. Memang, tren pembayaran melalui QRIS masih tergolong baru dibandingkan metode non-tunai lainnya seperti kartu debit atau kartu kredit. Seperti diketahui bersama, QRIS pertama kali diperkenalkan oleh Bank Indonesia (BI) pada tahun 2019.
QRIS, singkatan dari Quick Response Code Indonesian Standard, menggabungkan berbagai jenis QR Penyedia Jasa Pembayaran (baik bank maupun non-bank) menjadi satu. Dengan demikian, masyarakat tidak perlu repot-repot mengunduh berbagai aplikasi pembayaran. Cukup satu aplikasi QR saja yang dapat digunakan untuk bertransaksi di berbagai platform pembayaran QR.
Keresahan warganet terkait jenis QRIS yang digunakan memang cukup beralasan. Sebenarnya, apa pun penyedia QRIS tidak menjadi persoalan utama. Artinya, meskipun pembeli dan penjual menggunakan penyedia QRIS yang berbeda, transaksi tetap dapat dilakukan. Upaya memudahkan transaksi itulah yang menjadi daya tarik utama QRIS.
Selain kemudahan, BI dalam peraturannya menjelaskan bahwa salah satu tujuan QRIS adalah untuk mendukung inklusi keuangan, termasuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Dari sini, terlihat semangat bank sentral untuk memfasilitasi transaksi non-tunai bagi semua kalangan, bahkan dengan nominal transaksi yang kecil sekalipun.
Jadi, QRIS dapat digunakan untuk bertransaksi ritel bahkan dengan nilai satu rupiah pun, tidak ada batasan minimal transaksi. Satu-satunya ketentuan BI terkait transaksi menggunakan QRIS adalah batas maksimum transaksi sebesar Rp10 juta per transaksi.
Selanjutnya, konsumen seharusnya tidak dikenai biaya transaksi tambahan saat menggunakan QRIS. Hal ini sudah ditegaskan dalam Pasal 52 ayat (1) Peraturan BI No. 23/6/PBI/2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran (PBI PJP). Pasal tersebut melarang penyedia barang/jasa untuk menambahkan biaya tambahan kepada pengguna layanan (pembeli) yang menggunakan QRIS.
Salah kaprah yang masih ada bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kurangnya edukasi dari penyedia jasa pembayaran kepada pedagang yang menggunakan QRIS. Hal ini mungkin terjadi karena petugas penyedia jasa pembayaran hanya fokus pada pencapaian target merchant QRIS, seperti yang sering terjadi saat ini. Namun, bisa juga disebabkan oleh kurangnya perhatian dari pedagang terhadap informasi-informasi terkait penggunaan QRIS.
Kedua, munculnya pertanyaan tentang jenis QRIS yang digunakan bisa jadi karena pedagang kurang memahami fitur penyatuan QR pembayaran dalam QRIS. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa pertanyaan tersebut muncul karena adanya tren diskon, cashback, atau penawaran menarik lainnya bagi konsumen yang menggunakan QRIS dari penyedia tertentu.
Ketiga, masih ada praktik pemberlakuan biaya tambahan yang diduga dilakukan oleh pedagang untuk menutupi biaya Merchant Discount Rate (MDR) kepada konsumen mereka. MDR adalah biaya yang dibebankan oleh penyedia jasa pembayaran kepada pedagang saat bertransaksi menggunakan QRIS. Besarnya berkisar antara 0% hingga 0,7% per transaksi, tergantung pada kategori pedagang. Misalnya, pedagang mikro akan dikenai MDR sebesar 0,3% untuk transaksi di atas Rp100 ribu.
Mencegah salah kaprah tersebut harus dimulai dengan edukasi yang baik. Penyedia jasa pembayaran memiliki kewajiban untuk memberikan edukasi kepada para pedagang, seperti yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) PBI PSP.
Selain edukasi, penyedia jasa pembayaran juga harus memastikan bahwa pedagang mematuhi larangan pemberlakuan biaya tambahan. Kewajiban ini juga diatur dalam Pasal 52 ayat (2) PBI PSP.
Meskipun penerapan aturan ini tidak mudah, upaya maksimal harus dilakukan oleh penyedia jasa pembayaran untuk menciptakan ekosistem pembayaran digital yang sehat. Kesehatan ekosistem pembayaran ini berdampak pada percepatan pertumbuhan ekonomi dari segi kecepatan, kemudahan, dan kelancaran transaksi keuangan.
Tidak mengherankan jika masyarakat semakin kritis ketika menemui ketidaknyamanan dalam bertransaksi menggunakan QRIS. Pembayaran berbasis QRIS semakin populer, seperti yang ditunjukkan oleh tingkat adopsi yang tinggi dari masyarakat.
Data dari BI per Januari 2024 menunjukkan pertumbuhan tahunan jumlah transaksi QRIS sebesar 149,46%, dengan total nominal mencapai Rp31,65 triliun, jumlah pengguna mencapai 46,37 juta, dan jumlah pedagang mencapai 30,88 juta. Sebagian besar pedagang adalah UMKM.
Diperkirakan bahwa QRIS akan terus berkembang seiring dengan kesadaran dan kenyamanan masyarakat dalam bertransaksi non-tunai. Terlebih lagi, dengan adanya inovasi-inovasi baru dalam pembayaran QRIS. Misalnya, QRIS transfer, tarik tunai, dan setor tunai memudahkan masyarakat yang jauh dari kantor bank atau mesin ATM. Ada juga QRIS lintas negara yang memfasilitasi transaksi dengan beberapa negara menggunakan QRIS.
Kebiasaan masyarakat untuk memilih cara pembayaran yang paling mudah dan nyaman adalah hal yang pasti. Saat ini, QRIS adalah salah satu solusi yang memenuhi kebutuhan tersebut dengan berbagai fitur yang dimilikinya.
Salah kaprah yang masih ada merupakan bagian dari proses pembelajaran dalam transisi cara pembayaran. Oleh karena itu, edukasi yang terus-menerus menjadi kunci untuk mencegah munculnya salah kaprah tersebut.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Mencegah Salah Kaprah QRIS"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.