Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Ketika Ruang Kelas Siswa Terlalu "Sempit", Problem Bakal Jadi Minim Solving"
Memangnya ada hubungan antara ukuran ruang kelas dengan rendahnya kemampuan daya siswa dalam menyelesaikan masalah (problem solving)?
Beberapa hari sebelum Penilaian Akhir Semester (PAT) digelar, saya menggiatkan kegiatan belajar sembari jalan-jalan mengelilingi lingkungan sekolah seraya melihat aktivitas warga.
Sebenarnya materi pelajaran yang diampu pada semester ini sudah habis, hanya perlu sedikit refleksi dan apersepsi agar anak-anak tidak melupakan materi yang telah diajarkan.
Pada awalnya, saya hanya mengajak anak kelas 1 SD dengan jumlah 5 orang untuk berkeliling melihat alam, melihat aktivitas warga, sembari melihat fenomena yang ada di sekitar sekolah.
Kebetulan materi terakhir ialah tentang budi pekerti kepada orang tua dan guru, serta membangun hubungan baik antar sesama manusia.
Selama 20 menit, saya coba hadirkan masalah terkait pentingnya perilaku rendah hati terhadap orang tua pada siswa kelas 1. Namun, penjelasan saya direspon dengan raut wajah kebingungan.
Dari permasalahan tersebut, di sinilah terbayang fenomena bahwa ruang kelas terlalu sempit bagi siswa.
Sempit dalam artian terlalu sedikit pengalaman, pemecahan masalah, dan pemahaman.
Mengajari anak mengenai problem solving tidak serta merta hanya berupa teori. Siswa perlu mengalaminya secara langsung dengan bimbingan guru agar siswa mampu memahami problem solving.
Maka dari itulah, terkadang model pembelajaran problem solving akan terasa sulit mencapai kata "sukses" bila hanya dilakukan di kelas, mengingat insight siswa yang amat bergantung kepada literasi dan pengalaman mereka.
Pertama, jika ruang kelas dirasa sempit untuk memperkenalkan dunia pada siswa, maka guru perlu memasukkan dunia ke dalam kelas dengan cara menyajikan fenomena yang ada di sekitar mereka.
Kedua, jika suasana kelas tidak memungkinkan untuk memasukkan dunia, maka sudah saatnya guru mengajak siswa keluar kelas untuk melihat dunia dan seperangkat fenomenanya.
Dalam kasus di atas, saya mengajarkan problem solving dengan mengajak siswa
berkeliling ke belakang kelas.
Kami melewati jalan memutar untuk keluar dari lingkungan sekolah. Saya pun meminta siswa secara bergantian untuk menyapa warga yang sedang menjemur pakaian, memetik kopi, hingga warga yang sedang mendirikan tenda untuk hajat.
Setelah puas jalan-jalan dan kembali tiba ke gang masuk lingkungan sekolah, saya pun bertanya tentang apa yang mereka dapatkan dari percakapan dengan warga.
Dari pengalaman tersebut, siswa mampu menyelesaikan memahami terkait perilaku rendah hati dan juga mampu memaknai pengalaman mereka sendiri di lapangan.
Jika salah satu dari kedua gagasan di atas tidak dicoba, maka seringkali para guru akan menjumpai pembelajaran yang berbasis problem namun minimsolving.