Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Ancaman Depresi yang Kita Abaikan"
Mungkin banyak yang tak menyadari bahwa masalah medis berat yang banyak dialami masyarakat di tahun 2020 salah satunya adalah depresi.
Depresi merupakan gangguan medis dengan lebih dari 300 juta orang yang terkena dampaknya.
Depresi digolongkan sebagai salah satu gangguan jiwa yang menempati nomor dua dari penyakit yang membebani secara global.
Depresi berbeda dengan fluktuasi suasana hati yang biasa dan respons emosional jangka pendek terhadap tantangan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam artian sempit depresi bukanlah kesedihan biasa.
Diagnosis depresi dilakukan setelah terlihat gejala seperti suasana perasaan hati yang menurun (mood yang sedih), perasaan putus asa dan hilang harapan, serta ketidakmampuan melakukan kegiatan sehari-hari yang biasa dilakukan selama lebih dari 2 minggu.
Depresi dapat menjadi kondisi kesehatan yang serius jika dibarengi dengan kondisi medis umum lainnya seperti gangguan jantung, gangguan endokrin seperti kencing manis dan penyakit tiroid, serta gangguan jantung dan gangguan saraf.
Depresi juga dapat menyebabkan penderitanya mengalami kualitas hidup yang menurun, fungsi diri yang buruk di tempat kerja, di sekolah, dan di keluarga. Bahkan, pada situasi terburuk depresi dapat menyebabkan seseorang bunuh diri.
Data WHO tahun 2019 mengatakan hampir 800.000 orang meninggal akibat bunuh diri setiap tahunnya. Hal ini membuat bunuh diri menempati urutan kedua sebagai penyebab kematian orang dengan rentang usia 15-29 tahun.
Terapi untuk pasien depresi telah diketahui lebih dari 30 tahun yang lalu. Meski begitu, sampai saat ini kurang dari setengah pasien yang mengalami depresi menerima perawatan depresi yang benar.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, orang yang mengalami depresi berkisar di 6,1% dari total populasi di Indonesia.
Ironisnya hanya 9% dari orang yang mengalami depresi tersebut yang mendapatkan pengobatan depresi.
Hal ini tidak mengherankan karena di banyak negara lain juga angka statistiknya sama.
Banyak hambatan dalam memberikan perawatan depresi yang efektif, seperti kurangnya sumber daya, kurangnya penyedia layanan kesehatan yang terlatih, dan stigma sosial yang terkait dengan gangguan jiwa.
Hal ini juga masih ditambah oleh penilaian terhadap depresi yang tidak terdeteksi.
Berdasarkan data WHO, orang-orang di berbagai negara dengan tingkat pendapatan beragam yang mengalami depresi seringkali idak terdiagnosis dengan benar.
Bahkan yang disayangkan orang tanpa gangguan depresi sangat sering salah didiagnosis dan diresepkan antidepresan.
Beban depresi dan kondisi kesehatan mental lainnya meningkat secara global. Resolusi WHO yang disahkan pada Mei 2013 telah menyerukan respons komprehensif dan terkoordinasi terhadap gangguan mental di tingkat negara. Sayangnya tidak semua negara mampu mengejewantahkan resolusi ini .
WHO pernah menyerukan kampanye untuk mengatasi masalah depresi di Hari Kesehatan Sedunia tahun 2017 dengan mengusung tema "Depression: Let's Talk".
Kampanye ini menyerukan kepada semua orang yang merasa memiliki gejala depresi untuk mau membicarakan mengenai masalahnya tersebut.
Dalam kampanye ini juga orang-orang diimbau untuk lebih memahami pasien yang mengalami depresi dan tidak menghakiminya dan memberikan saran terlalu dini bahwa semua kondisi perasaan tersebut pasti akan segera berlalu.
Stigma soal gangguan jiwa terutama depresi masih menjadi masalah di banyak negara termasuk Indonesia. Pasien depresi sering disalahartikan hanya mencari perhatian atau "baperan".
Tentu mencari perhatian atau “baperan” dengan yang benar-benar mengalami depresi adalah dua hal yang sangat berbeda.
Sekali lagi, depresi adalah kondisi medis yang biasanya ditandai oleh kesedihan secara terus-menerus selama lebih dari dua minggu yang tentunya memerlukan bantuan dan pertolongan.
Jika kita lebih sadar dengan keadaan ini tentunya akan jauh lebih baik untuk kita memahami orang yang mengalami depresi.
Sayangnya kita sering kali terlalu mudah menyimpulkan kondisi yang seolah-olah kita pahami tersebut.
Menjadi pendengar yang baik adalah salah satu cara yang bisa dilakukan. Kita cukup mendengar saja. Karena biasanya orang yang mengalami depresi sering kali merasa lebih ringan bebannya hanya dengan bercerita tanpa perlu diberikan nasihat terlalu dini.
Tidak memberikan nasihat yang terlalu cepat atau bahkan bersikap menyalahkan atau menghakimi. Cukup dengarkan saja karena dengan mendengarkan saja itu sudah sangat membantu orang yang mengalami depresi.
Sayangnya, sering kali kita kesulitan menjadi pendengar yang baik dan lebih senang mendengarkan suara kita sendiri.
Sikap yang menghakimi sering kali menghambat proses pengenalan depresi di lingkungan terdekat kita.
Saat orang yang depresi mau bercerita namun mendapatkan tanggapan yang tidak enak, maka dia akan berhenti bercerita dan menyimpan semuanya sendiri sampai akhir hayatnya yang kadang dia jemput sendiri.
Semoga tulisan ini bisa membantu kita sama-sama memahami tentang ancaman depresi. Saya, anda dan kita semua bisa mengalami depresi.
Kenali gejala depresi dan mulailah menjadi pendengar yang baik untuk orang-orang yang membutuhkan kita.
Salam Sehat Jiwa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.