Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Alex Japalatu
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Alex Japalatu adalah seorang yang berprofesi sebagai Penulis. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Alasan di Balik Tato Perempuan Kodi

Kompas.com, 3 November 2022, 11:56 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Alasan Perempuan Bertato di Kodi"

Perempuan di Kodi, Sumba, NTT, umumnya memiliki rajah atau tato di tangan dan kakinya. Nenek saya dari pihak ayah, Kodi Liku juga memilikinya. Tangan dan kakinya penuh dengan tato.

Beliau meninggal di usia 95 tahun pada tahun 2011 lalu. Perempua Kodi yang seumuran dengan nenek Kodi Liku juga memiliki tato di bagian tangan dan kakinya.

Meski demikian, perempuan yang lahir di luar generasi beliau sudah jarang yang memiliki tato di tubuhnya.

Jika diperhatikan gambar tato yang terdapat di tangan dan kaki Kodi Liku berupa inisial. Akan tetapi lebih banyak tato berupa garis naik dan turun yang membentuk satu lingkaran penuh di pergelangan tangan maupun betis.

Pola ini sekilas mirip seperti tato yang terdapat pada banyak perempuan suku Dayak, seperti suku Dayak Kayan.

Hal ini membuat saya bertanya, apakah Sumba ada kaitannya dengan suku Dayak di Kalimantan atau sebaliknya? Apa intensi mereka menato tangan dan kakinya?

Alasan Perempuan Kodi Bertato

Dari apa yang pernah saya temukan di Kodi, paling tidak ada tiga alasan perempuan Kodi menato tubuh mereka.

Pertama, tato tersebut berguna sebagai tanda bahwa mereka telah akil balik. Seorang perempuan Kodi yang sudah ditato di tubuhnya menandakan bahwa dia sudah siap dilamar oleh laki-laki untuk selanjutnya membina rumah-tangga.

Kedua, berkaitan dengan keyakinan Marapu, yaitu agama asli masyarakat Sumba. Tato dipercaya akan membuat mereka dapat memperoleh api kelak di alam sana setelah kematian.

Hal ini juga berkaitan dengan warisan kepercayaan dari zaman pra-aksara yang meyakini bahwa manusia memiliki ketergantungan terhadap kekuatan lain di luar dirinya, yaitu benda-benda yang memiliki kekuatan supranatural (dinamisme).

Benda-benda yang dimaksud ialah seperti pohon dan batu besar, di mana mereka dapat meminta pertolongan keselamatan.

Api juga diyakini memiliki kekuatan supranatural yang bisa membuat matang makanan, digunakan untuk mengusir hewan puas, serta berguna sebagai penerangan di kala gelap. Setidaknya, (mungkin) begitu dalam benak mereka.

Ketiga, maksud perempuan menato bagian tangan dan kaki mereka adalah agar tak dijadikan budak seks tentara Jepang saat itu.

Berdasarkan kisah yang beredar di Kodi, tentara Jepang saat itu tidak menyukai perempuan yang memiliki tato. Dugaan saya mungkin para tentara Jepang itu menganggap bahwa perempuan bertato mirip seperti anggota Yakuza di negaranya.

Kisah Tato Tertua di Dunia

Cerita lain terkait tato juga saya temukan ketika berkunjung ke Pulau Siberut. Di sana dengan mudah saya menemukan banyak kaum laki-laki bertato.

Ady Rosa, Dosen Seni Rupa dari Universitas Negeri Padang, yang sudah lama meneliti tato di Mentawai menuturkan bahwa tato tertua di dunia adalah tato yang ada pada diri orang-orang di Kepulauan Mentawai.

Tradisi menato tubuh di Mentawai diyakini sebagai tato tertua karena orang Mentawai sudah menato tubuh mereka sejak zaman Logam atau sekitar tahun 1500-500 SM.Bayu Marthen Tradisi menato tubuh di Mentawai diyakini sebagai tato tertua karena orang Mentawai sudah menato tubuh mereka sejak zaman Logam atau sekitar tahun 1500-500 SM.
Menurutnya, penduduk Mentawai yang merupakan suku bangsa protomelayu sudah menato tubuh mereka sejak zaman Logam atau sekitar tahun 1500-500 SM. Artinya, tato di Mentawai jauh lebh tua dibandingkan tato yang terdapat pada mumi di Mesir yang diketahui baru aja pada tahun 1300 SM.

Tato bagi orang Mentawai dianggap sebagai simbol jati diri dan pembeda status sosial serta pekerjaan. Tato yang dimiliki seorang dukun sikerei akan berbeda dengan tato yang dimiliki oleh pemburu ahli.

Para pemburu ahli ini akan menato dirinya dengan gambar binatang hasil buruannya, seperti babi, rusa, kera, burung, atau buaya.

Selain di Mentawai dan Mesir, tato juga dikenal di Siberia (300 SM), Inggris (54 SM), Indian Haida di Amerika, suku-suku Eskimo, Hawaii, dan Kepulauan Marquesas.

Budaya tato juga ditemukan pada suku Rapa Nui di Kepulauan Easter, suku Maori di Selandia Baru, suku Dayak di Kalimantan dan tentu juga di Sumba, NTT.

Jika ada yang tahu tokoh Marlina dalam film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak yang diperankan oleh Marsha Timothy, mestinya juga memiliki tato di bagian tangan dan kakinya mengingat Marlina digambarkan sebagai orang Sumba.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Kini Peuyeum Tak Lagi Hangat
Kini Peuyeum Tak Lagi Hangat
Kata Netizen
Membayangkan Indonesia Tanpa Guru Penulis, Apa Jadinya?
Membayangkan Indonesia Tanpa Guru Penulis, Apa Jadinya?
Kata Netizen
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Kata Netizen
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Kata Netizen
'Financial Freedom' Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
"Financial Freedom" Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
Kata Netizen
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus 'Dosa Sampah' Kita
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus "Dosa Sampah" Kita
Kata Netizen
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Kata Netizen
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Kata Netizen
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan 'Less Cash Society'?
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan "Less Cash Society"?
Kata Netizen
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Kata Netizen
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Kata Netizen
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Kata Netizen
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Kata Netizen
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Kata Netizen
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Terpopuler
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau