Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "17 Jam Mengikuti Ritual Tradisi Gondang Patarias Debata Jujungan"
Suatu hari saya mendapat kabar bahwa saya diundang untuk menyaksikan ritual Patarias Debata dan Gondang Bolon yang diadakan oleh kelompok masyarakat Batak yang peduli tradisi leluhur pada 17 Oktober lalu.
Tanpa berpikir panjang, saya mengiyakan ajakan teman tersebut. Bersama dua orang lainnya yang juga diundang, saya berangkat bersama untuk mengikuti rangkaian acara.
Kami bertiga berangkat dari Pelabuhan Ajibata, Parapat, menuju Tomok. Dari Tomok kami lanjutkan perjalanan menuju Pangururan.
Dari Pangururan kami kembali melanjutkan perjalan menuju Limbong, satu desa di Sianjut Mulamula yang berada di Lembah Sagala. Perjalanan Pangururan ke Limbong memakan waktu kurang lebih 30 menit menggunakan sepeda motor.
Di perjalanan menuju Limbong saya bertanya kepada orang yang mengantar perihal komunitas yang menyelenggarakan rangkaian acara ritual ini.
Darinya saya mendapat penjelasan bahwa mereka yang marulaon (beracara) adalah mereka yang peduli leluhur, dan warisannya. Sama-sama menghargai ritual gondang. Mereka yang berjumpa karena saling menemukan.
Setelah 30 menit perjalanan, kami tiba di Situs Batu Hobon, titik nol kebudayaan Batak.
Batu Hobon adalah batu (alam) besar yang berisi harta warisan leluhur yang tak boleh dan tak pernah dibuka.
Di belakang Batu, di tanah lebih tinggi, berdiri patung Tuan Sariburaja, yang diresmikan tahun 2015. Di belakang patung ada semacam ruang, untuk duduk lesehan atau beristirahat.
Berseberangan dengan patung Tuan Sariburaja, terdapat Situs Guru Tatea Bulan. Di belakang Situs Guru Tatea, terdapat Gunung Pusuk Buhit, yang dipercaya sebagai tempat turunnya para leluhur Batak dari dunia atas.
Di depan Situs Batu Hobon terdapat tenda awning yang di salah satu sisinya terdapat gondang (alat musik khusus ritual Sianjur Mulamula).
Dari situ saya melihat-lihat sekeliling, menjenguk kesibukan di teras Situs Batu Hobon. Di sana terlihat aktivitas para parhobas (yang beracara) sedang memotong lontong, menyusun ayam panggang, mengatur peralatan, dan lain-lain.
Tak jauh dari sana, di dalam dinding semen depan Situs Batu Hobon, terdapat semacam altar. Altar tersebut dialasi dan dihiasi bunga kelapa yang menjuntai ke bawah.
Di atas altar sudah terdapat 8 piring yang berisi beragam makanan, nasi putih, nasi kuning, lontong mengalasi arsik ikan Batak, telur rebus, ketan, potongan semangka merah, nangka, mentimun. dan ayam panggang utuh.
Sementara di bawah alatar terdapat cawan-cawan putih yang nantinya diisi air, jeruk purut, dan daun sirih. Di sudut-sudut meja altar, vas-vas berisi bunga sedap malam, gerbera, krisan, dan gladiol.
Kemudian di atas Situs Batu Hobon, terdapat berbagai macam buah-buahan yang tersusun rapi di atas lima tampah lebar. Susunan buah itu terdiri dari nanas bermahkota yang dikelilingi belimbing, apel, jeruk, pir, buah naga, dan mangga.
Inilah pesta itu. Hasil alam terbaik semesta dipersembahkan kembali kepada para leluhur. Siapa pun roh leluhur yang datang malam ini, pastilah bersuka melihat dan menerima segala persembahan buah, bunga, dan makanan lokal ini.
Tepat pukul 9 malam, acara pun dimulai yang diawali dengan martonggo (berdoa), dipimpin oleh seorang juru bicara di altar.
Tonggo dilakukan dengan bahasa Batak halus, dengan maksud memohon kepada Ompung Mula Jadi Na Bolon. Ompung adalah sebutan tertinggi orang Batak kepada yang sangat dihargai dan dimuliakan.
Selesai berdoa, acara dilanjutkan dengan makan malam bersama. Parhobas mengantar piring berisi nasi dan gulai daging kambing ke hadapan tiap orang. Juga baskom-baskom kecil berisi air untuk mencuci tangan.
Konon leluhur Batak tidak makan babi. Dulu, paling sedikit mereka memotong satu kerbau bila hendak beracara.
Makanan babi mulai dikenal sejak kehadiran Belanda. Bila tidak cukup uang untuk membeli seekor kerbau, maka diganti babi alias kerbau kaki pendek.
Setelah selesai makan bersama, acara ritual akan segera dimulai. Ritual ini dipimpin oleh seorang Panuturi, orang yang terpilih dan bertugas untuk berkomunikasi dengan roh leluhur melalui mediator yang telah disediakan.
Terdapat sekitar 20 orang mediator yang hadir pada malam itu. Rata-rata dari mereka adalah perempuan, namun terdapat juga laki-laki.
Sejurus kemudian para Pargonsi (pemain musik gondang) mulai memainkan gondang. Kemudian diikuti oleh Panuturi yang memimpin manortor, para penari yang bergerak melakukan tarian merespons musik gondang.
Selama ritual berlangsung, suasana hening. Hanya terdengar suara musik dan seruan-seruan dari salah seorang Pargonsi. Meski suhu temperatur di ponsel saya menunjukkan angka 13 derajat, namun suasana pada malam itu terasa hangat.
Di sela-sela ritual sang Panuturi meminta Pargonsi untuk memainkan satu musik tertentu. Menurutnya, permintaan itu datang dari roh leluhur.
"Santabi, Amang namalo. Uning-uningan gondang on, ninna. Gondang na metmet. Baen ma, Ompung."
"Oh ido. Baen ma!"
Selama ritual berlangsung, para mediator yang menari mengikuti musik dari Pargonsi, akan ada yang dimasuki oleh roh leluhur dan akan manortor (menari) dengan cara dan gerakan yang diinginkan oleh roh leluhur tersebut.
Ketika salah satu mediator menjadi yang terpilih untuk dimasuki roh leluhur, maka biasanya mediator yang lain akan memberikan selendang putih panjang.
Tak jarang, sang mediator yang dipilih oleh roh leluhur akan berganti pakaian seperti yang diinginkan oleh roh leluhur yang merasukinya.
Mediator yang dirasuki roh leluhur ini akan menari dengan menghentakkan kaki ke lantai, gerakan melipir mengikuti lingkaran dengan tangan kanan terentang ke depan, tangan kiri terentang ke belakang, melompat dengan dua kaki, atau dengan satu kaki.
Karena penasaran, saya bertanya kepada salah satu mediator yang sedang dirasuki oleh roh leluhur.
“Bagaimana Inang tahu Ompung sudah datang?"
“Tahu saja. Ada energi lain di dalam diri saya. Dia akan mengarahkan apa yang harus saya lakukan atau katakan," jelas sang mediator.
Dari cerita saya mengetahui bahwa mediator tersebut terpilih sejak 20 tahun lalu, saat ia berkunjung ke Situs Batu Hobon.
Ompung yang mendatanginya adalah Si Boru Biding Laut atau Ratu Pantai Selatan yang diyakini meynyukai warna hijau.
Hal itu termanifestasi dari kegemaran dan kesukaan sang mediator yang gemar memakai pakaian berwarna hijau.
Menurut sang mediator, semesta kemudian mempertemukannya dengan seorang yang menyerahkan liontin emas bergambar seorang dewi.
"Inilah Ompung yang mendatangi saya, dalam mitologi China," katanya sambil memperlihatkan emas berukir dewi dengan banyak tangan.
Sebelumnya, saya pikir ritual ini akan menampilkan suasana seram dan mistis. Ternyata, tidak sama sekali. Semua berjalan santai.
Panuturi memimpin ritual dengan khidmat, para mediator menari mengikuti alunan musik gondang dari Pargonsi.
Seorang teman yang pada malam itu juga bertindak sebagai mediator menjelaskan kepada saya bahwa roh leluhur yang berkenan hadir pada ritual malam itu lengkap.
Darinya, saya jadi tahu bahwa Tuan Sariburaja, yang patungnya terdapat di Situs Batu Hobon ini adalah keturunan Guru Tatea Bulan. Sementara Guru Tatea Bulan adalah keturunan Si Raja Batak, selain Raja Isumbaon.
Dijelaskannya lagi bahwa Guru Tatea Bulan memiliki 5 anak laki-laki dan 4 anak perempuan. Lima anak laki-laki itu adalah Raja Biak-Biak atau Raja Uti, Tuan Sariburaja, Limbong Mulana, Sagala Raja, Silau Raja.
Sementara empat anak perempuannya adalah Si Boru Pareme, Si Boru Anting, Si Boru Biding Laut, Nantinjo.
Menurut teman yang juga menjadi mediator, roh mereka hadir semua malam itu. Mendatangi para mediator selama ritual berlangsung.
Ompung yang mendatangi teman saya adalah Putri Lopian. Putri Sisingamangaraja XII. Seorang Panglima Perang. Oleh sebab itu, tarian yang dibawakan teman saya ini cenderung cepat.
Ritual ini berlangsung sepanjang malam. Para mediator baru berhenti menari setelah Pargonsi berhenti memainkan musik pukul 5 pagi. Tak lama saya memutuskan untuk beristirahat.
Ketika saya terbangun, waktu masih menunjukkan pukul 7 pagi dan saya menyaksikan pemandangan yang luar biasa indah. Suasana pagi di Situs Batu Hobon benar-benar menakjubkan.
Selang satu jam kemudian, Panuturi kembali mengajak para mediator yang masih tinggal untuk kembali manortor. Pargonsi pun kembali memainkan musik gondang.
Acara ritual baru dinyatakan selesai setelah Ompung memberi tanda selesai. Para mediator berhenti menari, pargonsi berhenti memainkan musik. Kemudian Panuturi akan mengucapkan terima kasih dan mempersilakan mereka untuk pulang.
Setelah acara ritual selesai, Panuturi meminta para parhobas untuk menurunkan tampah-tampah yang berisi buah-buahan dan makanan lain dari meja altar untuk disajikan.
Kami semua yang hadir di sana sarapan pagi bersama, menyantap makanan Ompung.
Setelah selesai sarapan, kemudian dilanjutkan dengan membereskan tenda dan tikar. Sampah-sampah juga dikumpulkan kemudian dibakar.
Bunga-bunga yang diletakkan di dalam vas sebagian ada yang membawa pulang dan sebagian lagi ditinggalkan untuk Ompung.
Tepat pukul 12 siang, kami semua meninggalkan Situs Batu Hobon untuk kembali ke tempat asal masing-masing.
Pengalaman menyaksikan ritual ini merupakan pengalaman yang tak akan pernah saya lupakan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.