Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pada pendidikan dasar, kurikulum pendidikan di Selandia Baru fokus pada dasar pembelajaran di berbagai mata pelajaran dan kompetensi tetapi terutama dalam literasi dan berhitung.
Kemudian pada pendidikan menengah, mereka belajar kurikulum yang luas dan seimbang, dengan beberapa spesialisasi di Year 11-13.
Sederhananya, anak-anak di sekolah dasar diajarkan hal-hal dasar dari setiap ilmu, yang mana fokus pada hal-hal mendasar yang perlu diketahui anak pada setiap tingkatan usianya.
Guru meminimalisir pekerjaan rumah alias PR. Kalaupun ada, biasanya berupa proyek menulis, membaca dan membuat resensi buku atau proyek kreativitas.
Prinsipnya, anak belajar akademik hanya di sekolah. Rumah adalah tempat untuk belajar kehidupan bersama keluarga.
Menariknya, anak-anak tidak pernah membawa tas berat. Semua buku-buku pelajaran dan alat tulis disimpan di kelas.
Anak hanya perlu membawa perlengkapan diri seperti topi, jaket, makanan, minuman dan kebutuhannya yang lain setiap kali berangkat ke sekolah.
Visi kurikulum pendidikan Selandia Baru terasa impresif, yaitu "Orang muda yang percaya diri, terhubung, terlibat secara aktif, dan pembelajar seumur hidup" (Ministry of Education, 2015).
Prinsip dasar yang ditetapkan adalah "Harapan tinggi, Perjanjian Waitangi, Keanekaragaman budaya, Inklusi, Belajar untuk belajar, Keterlibatan komunitas, Koherensi, Fokus masa depan".
Kompetensi kunci pendidikan Selandia Baru juga sangat riil, yaitu kemampuan untuk hidup dan belajar seumur hidup.
Penulis melihat langsung bagaimana pola pengajaran di kelas sekolah dasar di Selandia Baru benar-benar mengejawantahkan pokok-pokok kurikulum tersebut.
Anak-anak dipersiapkan untuk menjadi orang yang mampu berpikir, mengendalikan diri, percaya diri, suka belajar, terlibat dan berkontribusi terhadap masyarakat. Bukankah itu kemampuan yang paling penting dimiliki seorang manusia?
Kompetensi "berkontribusi terhadap masyarakat" diharapkan terwujud dengan belajar menghargai keanekaragaman dan terlibat dalam aktivitas-aktivitas sosial.
Singkatnya, murid-murid tidak dibentuk menjadi orang pintar yang terisolir dan tidak memberi manfaat pada lingkungannya.
Keterlibatan dalam lingkungan sekitar yang majemuk dipercaya akan membentuk pikiran positif.
Dengan memahami orang-orang di sekelilingnya, anak diharapkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungannya.
Pendidikan di Selandia Baru juga terlihat unggul dalam pembentukan karakter anak.
Ada karakter lain yang terlihat dibangun sejak dini, yaitu memahami bahwa manusia itu berbeda-beda. Berbeda ras, budaya, agama bahkan kondisi kesehatan yang berbeda.
Selandia Baru memang memiliki keanekaragaman budaya karena banyaknya pendatang yang tinggal di sana.
Hampir di setiap kelas terdapat murid dari berbagai negara, ras dan agama. Namun di balik perbedaan itu, anak-anak juga diajak mencari kesamaan melalui permainan. Bahwa dengan orang yang berbeda ras dan budaya pun ternyata terdapat kesukaan yang sama, sifat yang sama dan kesamaan-kesamamaan lainnya.
Hal itu dilakukan terus-menerus dan dipercaya memperkuat rasa kebersamaan dan mengikis intoleransi.
Sekolah mengajarkan anak-anak untuk saling memberi manfaat kepada rekan-rekannya dan bukan saling bersaing apalagi menjatuhkan.
Sebagai contoh, anak-anak sering belajar dalam kelompok kecil. Keberhasilan kelompok adalah keberhasilan bersama. Lalu anak-anak yang sudah paham diwajibkan untuk mengajari temannya yang belum paham dan bukannya merahasiakan pengetahuannya untuk dirinya sendiri.
Tidak ada ranking kelas dan ujian, dan tidak ada pula rapor yang berhias angka-angka.
Sebagai gantinya, rapor siswa adalah sebuah laporan kualitatif tentang perkembangan anak yang dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Laporan singkat itu juga memberitahu orang tua tentang kelebihan dan kekurangan si anak.
Kepercayaan diri anak-anak dipupuk sejak kecil, persis seperti visi kurikulum.