Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Marendra Agung J.W
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Marendra Agung J.W adalah seorang yang berprofesi sebagai Guru. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Era Revolusi Teknologi, Akankah Peran Guru Tergantikan?

Kompas.com - 09/12/2022, 20:49 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Mungkinkah Teknologi Pembelajaran Menggerus Kreativitas Guru?"

Sejak pandemi tahun 2020 lalu, pengaruh teknologi digital benar-benar tak dapat dielakkan dalam dunia pendidikan formal.

Teknologi mutakhir dengan segala jenisnya hadir sebagai solusi pembelajaran daring.

Momen langka era pandemi Covid-19 dengan pengalaman pembelajaran daring itu menyisakan residu dalam dunia pendidikan, terkhusus bagi saya sebagai guru yang baru mengajar sejak tahun 2017 lalu.

Ironi Pemanfaatan Teknologi dalam Proses Pembelajaran

Kini, siswa dan guru seperti tersedot oleh "kelumrahan" teknologi yang artifisial ataupun digital, baik di kelas maupun di luar kelas.

Lomba-lomba vlog mulai mendapat tempat di dunia pendidikan formal. Tidak hanya itu, game online pun mulai diperlombakan secara resmi di kalangan siswa.

Metode, pendekatan, hingga bentuk-bentuk konten pembelajaran pun diremajakan kembali.

Pelatihan-pelatihan dengan nafas "Ciptakan Pengajar Kreatif Melalui Pemanfaatan Teknologi" pun mulai bermunculan.

Kita yang saya sebut dalam tulisan ini yakni guru yang lahir era 1990-an, atau guru baru seperti saya tentu akan menikmati momen-momen perubahan gaya pengajaran ini.

Kendati demikian, saya berupaya melihat hubungan teknologi dan kreativitas itu dari sisi lain.

Bagi kita sebagai guru muda nan energik, yang percaya bahwa cara mengajar kita yang sarat dengan teknologi adalah bentuk kreativitas. Dalam hal ini justru saya merasa harus waspada, mengapa?

Jangan-jangan teknologi di dalam aktivitas mengajar dapat menjadi bumerang bagi kreativitas kita. Dengan bahasa sederhananya, apakah kita sedang menggunakan teknologi sebagai alat bantu pembelajaran, atau justru kita sedang diperalat oleh teknologi?

Bayangkan, tanpa sadar, kita mulai menghabiskan waktu dengan gawai, membuat akun TikTok dan akun YouTube, lantas rutin membuat konten untuk membagikannya kepada para siswa. Lantas, benak kita berisi harapan agar jumlah viewer meningkat, tanpa peduli apakah siswa benar-benar membutuhkannya atau tidak. Kemudian, waktu kita habis menggauli perangkat belajar, tanpa sempat eksplorasi ilmu dan isi pembelajaran yang sudah lama lusuh.

Kasus lain misalnya, kita terpaku dengan aplikasi atau teknologi pendidikan yang membantu kita membuat kuis menarik bernuansa game virtual. Malam hari kita menyusun strategi dan konten pembelajaran dengan begitu menarik dan sedemikian rupa. Keesokan harinya tiba-tiba listrik mati dan tak ada daya untuk menghidupkan laptop. Lantas apakah kita berhenti mengajar?

Hanya karena perangkat ajar serta persiapan dan perencanaan pembelajaran tidak dapat kita gunakan, bukan berarti kita berhenti membagikan ilmu.

Sikap dalam merespon masalah secara spontan, efektif, serta tepat sasaran pasti akan kita lakukan.

Saya cukup yakin kalau sebagian besar guru pernah mengalami hal ironi semacam itu dengan bentuk yang beragam. Dan jangan-jangan, ketika kita dapat mengatasi situasi semacam inilah, yang kemudian disebut sebagai daya kreativitas. Jika itu bukan kreatif, lantas apakah guru kreatif harus terikat dengan teknologi pembelajaran terkini?

Teknologi sebagai Alat Bukan sebagai Pusat

Para guru secara umum boleh jadi berposisi sebagai murid di hadapan gawai dan juga di tengah gelagat media sosial.

Kita tentu sudah tak canggung lagi melihat rekan kita yang lebih senior, kini mulai berpose dan posting foto atau materi pembelajaran di TikTok, Instagram, atau media sosial lainnya.

Kita pun telah melihat mereka sempat tertatih-tatih berkenalan dengan Zoom, Kahoot, Quizizz dan lain sebagainya. Kemudian kita sebagai guru yang masih muda turut serta mebantu mereka.

Kita boleh saja merasa paling mengerti dengan "bahasa" zaman ini, tapi saya kira kita harus tetap hati-hati untuk menyebut diri kita "kreatif". Sebab, jangan-jangan kita baru sekedar adaptif sebagai pengguna mahir aplikasi-aplikasi mutakhir.

Saya khawatir, apa yang sudah kita lakukan di kelas, dengan segala percobaan-percobaan piranti baru justru mempesempit diri kita sebagai guru.

Apakah segala hal yang kita terapkan dengan dalih "kreatif" malah menjauhkan kita dari efektivitas pembelajaran itu sendiri?

Pertanyaan tersebut menyambung pertanyaan di awal tulisan ini. Bahwa efek teknologi yang semulanya solusi lantas kemudian dapat menjelma menjadi masalah.

Pertanyaan tersebut saya rasa sejalan dengan gagasan Daoed Joesoef bahwa masyarakat teknologi berisiko membunuh keberadaannya sendiri. Pertumbuhan teknologi menuntut adanya daya kreatif hingga kebebasan untuk bergagasan. Di lain sisi, sifat dasar organisasi dari pertumbuhan teknologi ini ialah keteraturan dan disiplin yang ketat.

Bukankah keadaan ini akan menjadi bertentangan? Ketika kita harus kreatif di tengah ruang, yang juga mengharuskan kita disiplin dengan regulasi formal tertentu?

Oleh sebab itu, kita harus merumuskan secara mandiri, bagaimana posisi teknologi yang proporsional, terlebih dalam dunia pendidikan formal dengan segala aspirasi ilmunya. Teknologi jangan sampai menjadi kontraproduktif, karena teknologi di kelas pada dasarnnya hanyalah alat, bukan pusat.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Apa yang Membuat 'Desperate' Ketika Cari Kerja?

Apa yang Membuat "Desperate" Ketika Cari Kerja?

Kata Netizen
Antara Bahasa Daerah dan Mengajarkan Anak Bilingual Sejak Dini

Antara Bahasa Daerah dan Mengajarkan Anak Bilingual Sejak Dini

Kata Netizen
Kebebasan yang Didapat dari Seorang Pekerja Lepas

Kebebasan yang Didapat dari Seorang Pekerja Lepas

Kata Netizen
Menyiasati Ketahanan Pangan lewat Mini Urban Farming

Menyiasati Ketahanan Pangan lewat Mini Urban Farming

Kata Netizen
Mari Mulai Memilih dan Memilah Sampah dari Sekolah

Mari Mulai Memilih dan Memilah Sampah dari Sekolah

Kata Netizen
Menyoal Kerja Bareng dengan Gen Z, Apa Rasanya?

Menyoal Kerja Bareng dengan Gen Z, Apa Rasanya?

Kata Netizen
Solidaritas Warga Pasca Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki, Flores Timur

Solidaritas Warga Pasca Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki, Flores Timur

Kata Netizen
Kenali 3 Cara Panen Kompos, Mau Coba Bikin?

Kenali 3 Cara Panen Kompos, Mau Coba Bikin?

Kata Netizen
Tips yang Bisa Menunjang Kariermu, Calon Guru Muda

Tips yang Bisa Menunjang Kariermu, Calon Guru Muda

Kata Netizen
Dapatkan Ribuan Langkah saat Gunakan Transportasi Publik

Dapatkan Ribuan Langkah saat Gunakan Transportasi Publik

Kata Netizen
Apa Manfaat dari Pemangkasan Pada Tanaman Kopi?

Apa Manfaat dari Pemangkasan Pada Tanaman Kopi?

Kata Netizen
Kembangkan Potensi PMR Sekolah lewat Upacara Bendera

Kembangkan Potensi PMR Sekolah lewat Upacara Bendera

Kata Netizen
Menulis sebagai Bekal Mahasiswa ke Depan

Menulis sebagai Bekal Mahasiswa ke Depan

Kata Netizen
Membedakan Buku Bekas dengan Buku Lawas, Ada Caranya!

Membedakan Buku Bekas dengan Buku Lawas, Ada Caranya!

Kata Netizen
Menunggu Peningkatan Kesejahteraan Guru Terealisasi

Menunggu Peningkatan Kesejahteraan Guru Terealisasi

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau