Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Tradisi Sasapton, Mengungkap Diplomasi Kultural Masa Keemasan Banten"
Cerita tentang sejarah Kesultanan Banteng memang begitu panjang. Pada abad 16-17 M, Banten merupakan kerajaan penguasa maritim di wilayah nusantara bagian barat.
Kesultanan Banten pada waktu itu adalah wilayah pemerintahan Islam yang dikenal sebagai kota kyai, santri, dan jawara.
Soal wilayah Banten yang dikenal sebagai kota jawara, banyak orang menghubungkannya dengan keberadaan jagoan-jagoan yang dipercaya memiliki kesaktian, kemagisan, kewibawaan, kharisma, dan sebagainya.
Barangkali alasan itulah yang membuat kota Banten juga identik dengan sebuah kesenian bernama debus, yakni sebuah tradisi olah batin serta jiwa yang dilakoni masyarakat Banten dan kini menjadi sebuah pertunjukan olah kanuragan.
Banten juga memiliki warisan budaya berupa benda, seperti Keraton Surosowan, Benteng Spelwijk, Keraton Kaibon, Masjid Agung Banten, Vihara Avalokiteswara, Menara Pecinan, Meriam Ki Amuk, Situs Megalitik Pulosari di Banten Girang, dan sebagainya yang sampai masa kini masih bisa kita saksikan.
Selain debus dan julukan kota jawara yang sudah familiar, Banten juga memiliki satu tradisi khas yang mungkin banyak belum diketahui orang, yakni tradisi Sasapton.
Sasapton adalah suatu permainan atau olahraga ketangkasan menggunakan kuda di masa Kesultanan Banten yang digelar setiap hari Sabtu.
Maka tak heran jika orang awam yang pertama kali mendengar istilah Sasapton ini akan langsung yang menghubungkannya dengan hari Sabtu.
Namun sayangnya, tak banyak catatan sejarah soal tradisi Sasapton yang bisa ditemukan. Bahkan di antara sedikit catatan yang bisa ditemukan itu, gambaran soal Sasapton hanya berupa pengulangan dari catatan-catatan yang sudah ada lebih dulu.
Padahal, tradisi Sasapton ini mulai lahir pada masa kejayaan Kesultanan Banten di abad 16-17 M. Oleh karenanya, pasti akan terdapat nilai-nilai yang berharga dari tradisi Sasapton ini.
Tradisi Sasapton rutin digelar setiap hari Sabtu di alun-alun Kutaraja. Tak hanya melibatkan kaum bangsawan kesultanan, masyarakat biasa pun juga terlibat dalam tradisi Sasapton ini.
Di balik pelaksanaannya, Sasapton ini bukan hanya soal menunjukan ketangkasan berkuda, melainkan juga ada nilai-nilai falsafah dan budaya lokal tentang bagaimana diplomasi kebanggsaan pada masa Kesultanan Banten.
Seorang Budayawan Banten, Abah Yadi, dalam sebuah wawancara menjelaskan bahwa Sasapton adalah tentang pertunjukan apapun, seperti bermain kuda, bermain pedang, dan lainnya. Bahkan, terdapat pula pentas tari-tarian dan sandiwara yang diceritakan dalam sejarah lisan dan manuskrip.
“Dalam permainan itu bahkan melibatkan para saudagar mancanegara yang bermukim di Banten, seperti saudagar Tionghoa, Arab, India bahkan Eropa dan tampil di tengah hiburan masyarakat itu,” jelas Abah Yadi.
Penjelasan Abah Yadi juga diperkuat dengan catatan sejarah tentang Sasapton oleh Husein Djayadingrat (1983) yang mengungkapkan bahwa Sasapton merupakan permainan tradisional berkuda yang dilaksanakan oleh seluruh rakyat Banten, tanpa membedakan golongan bangsawan maupun rakyatnya.
Menurut catatan sejarah, permainan Sasapton ini pertama kali diadakan pada masa pemerintahan Sultan Abdul Mufakir Abdul Kadir. Lebih lanjut, diterangkah bahwa Sasapton merupakan suatu upacara dalam rangka ungkapan kegembiraan Sultan Abdul Mufakir Abdul Kadir atas kelahiran cucunya.
Lantas, upacara ini pun berlangsung turun-temurun bahkan hingga masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, pada abad 16-17 M.
Lantas, apa hubungannya tradisi Sasapton ini dengan diplomasi politik kekuasaan soft power?
Dari minimnya catatan sejarah terkait Sasapton ini, kami para peneliti menyimpulkan bahwa tradisi Sasapton merupakan alat atau instrumen diplomasi politik kekuasan Kesultanan Banten.
Tujuannya tentu tak hanya menjaga relasi atau hubungan dengan rakyat, melainkan juga relasi dengan bangsa-bangsa lain dalam hal kerja sama perdagangan internasional.
Hal ini terlihat terlihat di masa-masa kejayaan Kesultanan Banten, terutama pada masa pemerintahan Sultan Abdul Mufakkir (1596-1651) sampai Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1672).
Pada masa ini, banyak sekali kapal-kapal dagang yang silih berganti berdatangan ke Banten, mulai dari Portugis Spanyol, Perancis, Denmark, Inggris, Belanda, India, Gujarat, Benggala, Persian dan sebagainya
Tak hanya kapal-kapal dagang internasional, kapal dagang dari dalam nusantara pun juga silih berganti berdatangan ke Banten, mulai dari Lampung, Selebar, Cirebon, Kerawang, Sumedang, Mataram, Patani, Aceh, Malaka, Ternate, Jambi, Palembang, Goa, Makassar, Banda, Sumbawa, Selor, Ambon, dan sebagainya.
Dari gambaran itu, bisa dibayangkan betapa ramainya Banten dan pelabuhannya pada masa itu. Di samping itu, tentu tradisi Sasapton yang dilakukan waktu itu juga pasti ramai dan sangat meriah.
Dengan adanya Sasapton di saat Banten sedang ramai-ramainya pedagang internasional dan dari dalam nusantara itulah, Sasapton menjadi suatu bentuk diplomasi kultural sekaligus diplomasi politik Sultan Banten.
Sebab, berkat Sasapton seluruh saudagar dari berbagai negara hadir dan turut menyaksikan pertujunkan Sasapton. Ini lah bukti bahwa betapa kaya kebudayaan Banten.
Secara teori Cummings (2009) mendefinisikan diplomasi budaya sebagai pertukaran ide, informasi, seni, dan aspek budaya lainnya di antara bangsa dan masyarakatnya untuk dapat menumbuhkan pemahaman bersama.
Oleh karenanya diplomasi ini bertujuan untuk saling menyatukan dan mempertemukan, seperti ketika satu bangsa memusatkan upayanya untuk mempromosikan bahasa nasional, menjelaskan kebijakannya dan sudut pandang, atau 'bercerita untuk seluruh dunia.
Tradisi Sasapton yang mempertemukan semua golongan, baik bangsawan dan rakyat biasa adalah upaya sang sultan merangkul sekaligus membuka ruang bagi rakyatnya untuk berbaur dengan kalangan bangsawan istana.
Di samping itu, Sasapton yang ikut menghadirkan berbagai saudagar mancanegara juga bisa menjadi alat diplomasi kultural Kesultanan Banten dalam menjalin hubungan diplomatik dengan bangsa-bangsa lain dalam rangka menjaga hubungan kerja sama perdagangan.
Dalam sebuah catatan sejarah dijelaskan bahwa Sasapton diadakan untuk memperingati kemenangan pasukan Banten dalam peristiwa Pagarege atau Pacirebonan.
Pesta peringatan kemenangan pasukan Banten ini digambarkan dengan rakyat beserta seluruh penggawa ditempatkan dalam kemah-kemah dan gamelan-gamelannya sendiri di sepanjang tepi sungai.
Hal ini dipercaya sebagai tanda legitimasi kekuasaan Banten atas wilayah lain dan kedaulatan atas wilayahnya sendiri.
Oleh karena itu, tradisi Sasapton perlu dihidupkan kembali. Nilai-nilai diplomasi kultural Kesultanan Banten, perlu direproduksi. Tradisi sasapton perlu direvitalisasi dan ditampilkan kembali di masa pemerintahan sekarang.
Harapannya, semoga di masa mendatang, tradisi Sasapton kembali hidup dan rutin diadakan karena itu adalah salah satu warisan budaya yang dimiliki Banten.
Sebab, dengan dihidupkannya kembali Sasapton, selain dapat mengenang masa kejayaan Banten, juga sekaligus menghidupkan kembali masa kejayaan itu pada konteks era saat ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.