Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pekerjaan Rumah (PR) merupakan hal yang sering dibebankan guru kepada pelajar dengan harapan dapat mengulang kembali pelajaran di sekolah.
Namun pada kenyataan di lapangan, banyak siswa yang keberatan dengan skema pekerjaan rumah. Beberapa siswa, terutama siswa saya sendiri mengeluhkan karena setiap guru sudah memberi PR yang menurut mereka sulit.
Sebagai guru, saya menganggap PR adalah salah satu alternatif untuk membujuk siswa agar mau membuka kembali pelajaran di kelas, begitu tiba di rumah. Akan tetapi, mekanisme sekolah yang mengatur siswa masuk jam 7 dan pulang jam 4, membuat siswa menjadi kelelahan.
Terlebih lagi, ketika di rumah tidak ada dukungan moral dari orangtua agar anak mengecek kembali tugas-tugas sekolahnya. Hal ini akan menjadi kebiasaan, sehingga walaupun PR yang diberikan guru hanya sedikit, siswa akan tetap mengeluh dan keberatan.
Saya memandang fenomena semacam ini sebagai lompatan zaman. Mungkin, dulu saat saya masih berstatus sebagai siswa, PR adalah bagian dari kewajiban yang harus saya penuhi.
Sebelum orangtua saya menanyakan tugas hari ini, saya sudah harus menyelesaikan PR dari guru-guru di sekolah agar dapat meminta orangtua saya mengoreksi jawaban PR saya.
Tentu saja kebiasaan semacam itu tidak lagi dapat diharapkan pada anak-anak zaman digital. Mengerjakan PR menjadi sesuatu yang berat, karena kebetulan siswa/i saya di tingkat SMA harus menunda kegiatan bermedia sosial sampai PR selesai dibuat.
Kecenderungan semacam itu yang melunturkan keinginan siswa untuk belajar atau sekadar mengerjakan PR di rumah.
Lantas kalau PR dihapuskan, bagaimana cara orangtua memastikan anaknya belajar?
Saya selalu guru diimbau untuk tidak memberikan PR, maka saya akan memberikan stimulus lain supaya anak tetap belajar. Akan tetapi, kesuksesan dari gagasan saya ini juga harus mendapat dukungan dari sekolah dan orangtua siswa.
Ide alternatif saya untuk menggantikan eksistensi PR yang dipandang sebagai "beban" bagi siswa adalah menginisiasi siswa untuk membuat proyek berkelompok.
Proyek ini paling tidak dapat selesai dengan dua pertemuan, yang berarti membutuhkan waktu pengerjaan selama 2 minggu.
Apabila hanya saya saja yang menerapkan skema pembelajaran proyek, maka siswa akan tetap merasa keberatan karena PR dari guru yang lain.
Namun, jika sekolah memfasilitasi para guru untuk menyusun silabus pembelajaran berbasis proyek di sekolah, maka gagasan ini dapat menjadi integrasi antar-mapel yang saling berkaitan.
Tidak hanya sampai di situ, peran orangtua juga sangat penting untuk memastikan siswa mengerjakan proyek dengan teman sekelompoknya.