Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Kehadiran media sosial membawa perubahan dan juga manfaat bagi semua orang dalam mencari dan berbagi informasi. Sayangnya, di balik dampak positif, nyatanya media sosial juga dapat membawa dampak negatif bagi penggunanya.
Hal tersebut pernah terjadi beberapa waktu terhadap teman saya. Ia menangis tersedu saat melihat sebuah konten di media sosial.
Usut punya usut, ternyata ia merasa sedih setelah melihat konten seorang perempuan yang terpaksa bercerai karena suaminya selingkuh.
Kehidupan perempuan itu pun diliputi dengan kepedihan pasca bercerai, mulai dari kesulitan ekonomi, kehilangan kepercayaan diri hingga dipaksa harus mandiri untuk membesarkan anak-anaknya.
Teman saya pun berkata pada suaminya, "Kamu jangan kayak gini ya pa, jangan selingkuh, jangan ceraikan aku.”
Sang suami pun terbahak, pun denganku yang melihat ungkapan hati temanku.
"Kok jadi aku sih?!" Protes suaminya.
Fenomena seperti ini pasti tidak sedikit yang mengalami. Sedikit banyak isi konten akan mengintervensi diri penontonnya terhadap lingkungan di sekitarnya.
Jika kontennya bahagia pasti akan terucap, "Kamu kok gak pernah giniin aku sih pa?" atau "Lihat nih pa, kalau ikhlas belanjain istri pasti rezekinya lancar."
Begitulah luar biasanya dampak sebuah konten di media sosial terhadap keharmonisan rumah tangga.
Meski kelihatan remeh, tapi ini bisa jadi bahaya yang mengancam keutuhan rumah tangga jika tidak disikapi dengan bijak.
Bayangkan, jika seorang istri tiba-tiba menuduh suaminya berselingkuh hanya karena memiliki ciri-ciri sikap yang mirip dengan di konten. Sementara sang suami dalam keadaan lelah setelah bekerja, apa tidak memicu terjadinya pertengkaran?
Atau tiba-tiba istri memantau HP suami dan menanyakan dengan detail isi chat suami dengan teman-temannya. Jika suami bukan tipikal pemarah mungkin tidak masalah, tapi bagaimana jika suami tipikal tidak suka ditanya-tanya secara detail, tentu ini akan menjadi konflik.
Ibu Rumah Tangga Rentan Mengalami Insecure terhadap Konten di Medsos?
Disadari atau tidak, banyak para istri yang memiliki kadar was-was dan ketakutan meningkat sejak adanya beragam konten tentang rumah tangga di media sosial.
Saya coba melakukan riset kecil-kecilan terhadap para istri di lingkungan sekitar. Hasilnya, 8 dari 12 orang menyatakan sering terintervensi dengan konten-konten di media sosial.
Mereka merasa ketakutan dan dihantui kecurigaan terhadap pasangannya. Dan isi konten yang paling mengintervensi adalah yang berbau perselingkuhan.
Sementara 4 orang lainnya menyatakan biasa-biasa saja dan menganggap konten hanya sebatas hiburan saja.
Uniknya, hampir 90% istri yang terintervensi adalah para istri yang sehari-hari berprofesi ibu rumah tangga.
Bukan mendiskritkan ibu rumah tangga, karena nyatanya ibu pekerja kantoran pun tak luput dari intervensi konten di media sosial tersebut.
Fenomena ini mengingatkan kita pada dua teori sosiologi komunikasi, yaitu teori uses and effects dan teori uses and gratifications dalam Burhan Bungin.
Pada teori tersebut disebutkan tentang bagaimana efek media sangat memengaruhi pemikiran dan sikap penggunanya serta tiga faktor utama yang memengaruhi seberapa besar seseorang terintervensi, yaitu jumlah waktu, isi konten media, dan hubungan kepentingan.
Semakin tinggi angka ketiganya, maka akan semakin tinggi juga tingkat pengguna terpengaruh.
Ia akan bermain dengan persepsinya sendiri dan cenderung kurang mengindahkan fakta-fakta logika.
Bisa dimaklumi, jika dari riset saya lebih didominasi ibu rumah tangga yang mudah terintervensi.
Namun, saya tertarik kepada satu orang ibu rumah tangga yang ternyata berada di kubu empat orang yang tidak terintervensi di mana ketiga lainnya adalah ibu pekerja kantoran.
Setelah saya kulik, ternyata sang ibu ini memang sosok yang memiliki prinsip independen. Ia mengaku tidak mau dipusingkan dengan media sosial.
Sama seperti tiga lainnya, ia menganggap media sosial hanya sebatas hiburan, tidak lebih.
Sang ibu juga mengaku tidak tertarik melihat isi HP suaminya atau dalam bahasa kekiniannya tidak kepo.
Baginya, yang penting suami selalu pulang, bertanggung jawab dan tidak pernah kasar. Rumah tangga harus dilandasi kepercayaan, lanjutnya.
Lantas, seberapa mengkhawatirkan intervensi konten terhadap keharmonisan rumah tangga?
Tentu saja jika tidak disikapi dengan bijak akan sangat mengkhawatirkan.
Tidak dapat dipungkiri, derasnya arus teknologi digital semakin menggeser cara pandang seseorang tentang kehidupan.
Pasalnya, tidak semua orang siap untuk menerima gempuran teknologi yang semakin canggih.
Tidak sedikit justru mereka terikut arus dan tergerus oleh zaman. Salah satu yang tidak disadari adalah mereka yang mudah terintervensi oleh konten media sosial.
Mereka bahkan sanggup mengesampingkan akal dan logika karena pengaruh konten yang terus-menerus.
Sudah pasti ini akan menganggu keharmonisan rumah tangga. Masing-masing pasangan akan dihantui oleh ketakutan dan was-was.
Kecurigaan tanpa bukti kerap menjadi awal pertengkaran. Konsep berpikir secara persepsi lebih mendominasi ketimbang realita.
Akibatnya, standar bahagia dan sedih itu dipukul rata bagi semua orang. Misal, kalau di konten bahagia itu ketika dibelikan perhiasan, maka begitu juga dengan pengguna konten, menganggap bahwa bahagia itu ketika dibelikan perhiasan.
Ketika sang suami tidak mampu membelikan perhiasan, maka ia pun menyimpulkan bahwa rumah tangganya tidak bahagia. Dan masih banyak lagi contoh kasus yang lain.
Pada akhirnya, memang kita tidak bisa menghindari arus teknologi digital. Suka tidak suka, mau tidak mau, kita memang harus berhadapan dengan teknologi media sosial.
Kita bahkan tidak bisa menjustifikasi bahwa media sosial itu buruk. Nyatanya, media sosial merupakan salah satu media siar informasi positif yang paling relevan untuk saat ini.
Upaya Menyikapi Derasnya Konten yang Beredar di Media Sosial
Meski demikian, ada beberapa hal yang dapat kita perhatikan tentang bagaimana menyikapi konten-konten di media sosial, terutama bagi keharmonisan rumah tangga, antara lain sebagai berikut:
Pertama, bijak bermedia sosial. Salah satu ciri bijak bermedia sosial adalah dengan menggunakan media sosial untuk hal-hal yang manfaat serta mendatangkan kebaikan untuk diri dan lingkungan.
Kedua, jangan mudah termakan hoax. Selalu mencari sumber berita yang valid sehingga tidak mudah terprovokasi.
Ketiga, kurangi waktu bermedia sosial. Seimbangkan waktu antara dunia maya dengan realita.
Keempat, pilah pilih konten. Pilihlah konten yang membawa suggest positif, jangan malah sebaliknya. Lebih baik skip saja konten-konten yang tidak berfaedah.
Kelima, jaga komunikasi. Tidak ada salahnya membuat kesepakatan dengan pasangan untuk sejenak stop gadget dan ber-quality time bersama keluarga.
Keenam, ambil value dari sebuah konten. Jadi, nonton konten jangan cuma bisa baper, tapi juga ambil nilai-nilai pelajaran di dalamnya.
Contoh, setelah melihat konten suami selingkuh, jangan bapernya yang dominan, tapi justru tetap menggunakan logika. Misalnya, oh saya harus memperbaiki komunikasi dengan suami, saya tidak boleh egois atau saya harus lebih meluangkan waktu untuk keluarga, dan lain sebagainya
Ketujuh, perbanyak ibadah dan beraktivitas positif. Hal ini sebagai salah satu upaya agar kita tidak terjebak dengan gaya hidup gadget minded serta membantu kita untuk me-refresh pikiran supaya dapat berpikir dengan jernih.
Nah bagaimana, masih khawatirkah dengan fenomena intervensi media sosial terhadap keharmonisan rumah tangga? Atau justru sudah berada di kubu yang bijak dan tidak mudah terintervensi?
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Intervensi Konten bagi Keharmonisan Rumah Tangga, Seberapa Mengkhawatirkan?"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.