Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
DKI Jakarta menempati urutan ke-29 sebagai kota termacet dari 389 kota yang ada di dunia. Peringkat ini diketahui dari rilis Tomtom Traffic Index.
Dari rilis tersebut juga diketahui bahwa DKI Jakarta menjadi kota termacet di ASEAN. Posisi DKI Jakarta berada di urutan ke-29 berbeda jauh dengan negara-negara lain di ASEAN seperti, Bangkok yang berada di urutan ke-57, Singapura ke-127, dan Kuala Lumpur ke-143.
Apa pasal yang membuat tingkat kemacetan di Jakarta begitu tinggi? Banyak penyebab kemacetan di Jakarta, namun yang jelas kemacetan Jakarta tak lepas dari terus bertambahnya kendaraan bermotor yang melintasi jalanan di Jakarta tiap tahunnya.
Berdasarkan data yang dihimpun BPS, tahun 2019 jumlah kendaraan bermotor di Jakarta mencapai 19,9 juta unit, lalu meningkat menjadi 20,2 juta unit, dan pada 2021 kembali meningkat menjadi 21,8 juta unit.
Pertumbuhan kendaraan tersebut seolah tak menghiraukan pandemi covid-19 yang melanda sejak awal 2020 lalu.
Di sisi lain, BPS juga mencatat bahwa dalam 5 tahun terakhir, cakupan pelayanan transportasi umum di Jakarta sudah meningkat dari 42% menjadi 82%.
Dengan melihat pertumbuhan ini, mestinya mampu menjadi pijakan bagi pemangku kebijakan untuk mendorong warga memaksimalkan penggunaan moda transportasi umum.
Dalam pembukaan Indonesia International Motor Show (IIMS) di Jakarta pekan lalu, Presiden Joko Widodo kembali mengingatkan bahwa kita harus mendukung penuh sistem transportasi massal bukannya transportasi pribadi.
"Sehingga yang namanya MRT, LRT, Kereta Api, dan Kereta Cepat itu menjadi keharusan bagi kota-kota besar,"ujar Presiden Joko WIdodo.
Apa yang disampaikan Jokowi soal tiga moda transportasi berbasis rel itu semua beroperasi di Jakarta. Jadi mungkin saja Jokowi menyiratkan pentingnya peran moda transportasi massal di Jakarta untuk mengurangi tingkat kemacetan di jalan raya.
Selain memaksimalkan transportasi umum berbasis rel, moda transportasi umum lain seperti bus, angkutan kota, dan lainnya juga perlu ditingkatkan dan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mengurangi kemacetan di Jakarta.
Akan tetapi kenyataannya di lapangan upaya pemerintah baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat untuk mendorong penggunaan transportasi umum secara maksimal oleh masyarakat tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Seperti yang kita tahu, sejumlah wacana pernah dikemukakan oleh pemerintah untuk mendorong dan memaksimalkan penggunaan transportasi umum.
Namun, dari berbagai wacana dan upaya tersebut, tak sedikit yang lantas berhenti hanya di tataran ide tanpa pelaksanaan yang jelas dan konsisten.
Baru-baru ini, Kementerian Perhubungan meminta pemerintah daerah di wilayah Jabodetabek untuk membuat aturan yang “memaksa” masyarakat menggunakan angkutan umum.
Menurut Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati, kebijakan “pemaksaan” tersebut perlu diterbitkan. Hal ini menjadi penting mengingat masih banyak masyarakat yang menggunakan kendaraan pribadi di Jakarta.
Padahal menurut Adita, Jakarta telah memiliki transportasi umum yang sudah cukup memenuhi kebutuhan masyarakat seperti MRT dan KRL.
Mungkin, seccara fungsi, KRL dan MRT sudah bisa dibilang cukup untuk memenuhi kebutuhan transportasi publik di Jakarta.
Namun, jika dibandingkan dengan MRT, KRL masih memiliki satu masalah mendasar yang belum bisa dipenuhi hingga saat ini, yakni kenyamanan dan keamanan.
Pada jam-jam tertentu, kepadatan penumpang masih kerap terjadi yang mengakibatkan penumpang berdesakkan, misalnya di Stasiun Manggarai.
Situasi kepadatan di Stasiun Manggarai ini mulai terjadi dan kian parah sejak diberlakukannya sistem Switch Over ke-5 (SO-5).
Sejak saat itu mulai banyak pengguna KRL yang melayangkan keluhan atas kepadatan di Stasiun Manggarai ini.
Salah satu keluhan yang kerap diajukan adalah keluhan dari penumpang jalur Bogor yang harus transit di Stasiun Manggarai dan berganti ke jalur Cikarang/Bekasi-Angke.
Ketika proses transit ini, penumpang mengeluhkan selisih waktu antarkedatangan kereta yang terlalu lama. Hal ini lah yang dituding menjadi penyebab utama penumpukan penumpang di Stasiun Manggarai.
Apalagi di KRL juga masih kerap ditemui kasus pencopetan dan pelecehan seksual dengan memanfaatkan padatnya penumpang di peron maupun di dalam gerbong kereta.
Bahkan, baru-baru ini tersiar kabar bahwa ada seorang karyawan yang memilih untuk berhenti bekerja demi tak lagi mengalami padatnya Stasiun Manggarai.
Meski sudah banyak keluhan yang diajukan soal ketidaknyamanan Stasiun Manggarai, namun belum ada upaya signifikan yang dilakukan oleh pemangku kebijakan untuk menangani masalah ini.
Satu upaya yang akan dilakukan oleh KCI dalam rangka mengatasi kepadatan ini adalah dengan menambah 31 perjalanan kereta pengumpan (feeder).
Nah, lantas apa sebabnya kemacetan masih saja terjadi meski transportasi umum Jakarta sudah cukup bagus?
Jawaban yang mungkin cocok adalah kebijakan pemerintah yang kurang mendukung pemanfaatan transportasi umum itu sendiri.
Pemerintah justru membuat kebijakan yang seolah mendukung kemudahan kepemilikan kendaraan pribadi, seperti kredit yang mudah, dukungan produksi kendaraan yang murah, serta kemudahan pengembangan kendaraan listrik.
Akibatnya, alih-alih masyarakat semangat menggunakan transportasi umum demi terhindar dari macet, malah mereka makin bersemangan membeli kendaraan pribadi karena untuk mendapatkannya begitu mudah.
Dampak lainnya, kemacetan dan tingkat populasi di Jabodetabek pun sudah melebihi kapasitas.
Di sisi lain, sebenarnya pemerintah juga membuat kebijakan yang “memberatkan” pengguna dan pemilik kendaraan pribadi yang hendak melintasi ruas jalan tertentu di Jakarta, yakni dengan membuat aturan jalan berbayar atau ERP.
Namun, tampaknya kebijakan ini masih belum akan dilaksanakan dalam waktu dekat, terlebih usai mendapat penolakan dari masyarakat, khusunya dari kalangan ojek daring.
Dengan adanya penolakan ini, Dinas Perhubungan DKI Jakarta menyatakan bahwa ojek online akan dikecualikan dalam aturan ERP ini.
Meski nanti pada penerapannya di lapangan akan sangat sulit membedakan motor miliki pengemudi ojek online dengan motor pribadi.
Jadi, pada dasarnya kebijakan mengurai kemacetan di ibu kota harus dilakukan beriringan dan konsisten, melalui pembenahan pelayanan transportasi publik yang pro penumpang dengan pengendalian kepemilikan dan penggunaan kendaraan bermotor yang efektif.
Tanpa dua hal yang saling berkaitan tersebut, maka terbebas dari macet hanya kan menjadi mimpi di siang bolong belaka.
Pada akhirnya, Jakarta akan tetap menjadi pemuncak kota termacet di ASEAN entah sampai kapan.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Mengapa Jakarta Tetap Macet Meski Angkutan Umum Cukup Tersedia?"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.