Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Belum lama ini ramai diperbincangkan masalah perjokian akademik. Nyatanya, aksi perjokian akademik di lingkungan pendidikan ini sudah terlihat sejak akhir tahun 1980-an.
Aksi perjokian ini lahir seiring merebaknya jasa pengetikan merangkap pembuatan skripsi di sekitar kampus.
Cakupan praktik joki ini pun cukup luas, mulai dari S1, S2, bahkan hingga S3. Jasa yang ditawarkan mulai dari penulisan makalah, skripsi, tesis, disertasi, hingga artikel jurnal ilmiah terindeks. Aksi perjokian ini tak hanya melibatkan mahasiswa, melainkan juga dosen.
Dengan terangkatnya isu perjokian akademik ini ada relevansinya dengan otokritik Mendikbudristek Nadiem Makarim tentang mutu rendah produk Perguruan Tinggi kita.
Dalam suatu acara di UI, Nadiem mengatakan, “Saat ini, Indonesia sedang memasuki era di mana gelar tidak menjamin kompetensi. Kita memasuki era di mana kelulusan tidak menjamin kesiapan berkarya, akreditasi tidak menjamin mutu, kita memasuki era di mana masuk kelas tidak menjamin belajar.”
Atau dalam satu kalimat yang lebih lugas, kalimat Nadiem tersebut juga bisa dikatakan begini, kompetensi dan kesiapan kerja lulusan Perguruan Tinggi rendah karena mereka menjalani proses belajar-mengajar bermutu rendah.
Praktik perjokian akademik selama proses perkuliahan, mulai dari penulisan tugas makalah, artikel jurnal, sampai tugas akhir (skripsi, tesis, disertasi) adalah salah satu indikator mutu rendah itu.
Saya tak hendak mengatakan semua mahasiswa dan dosen terlibat perjokian, entah sebagai joki atau pelanggan. Tapi fakta hal itu terjadi, sekecil apapun yang terungkap, jelas menandakan ada yang salah dengan perguruan tinggi kita.
Lantas mengapa praktik perjokian akademik ini kian marak? Apa penyebabnya?
Boleh dibilang salah satu faktor penyebab maraknya praktik perjokian akademik adalah kelemahan mahasiswa dan dosen dalam penguasaan metodologi sains.
Metodologi sains adalah ilmu tentang metode riset saintifik. Di dalamnya tercakup filsafat sains yang membahas hakikat objek sains (ontologi), cara mendapatkan pengetahuan yang benar tentang objek itu (epistemologi), dan nilai/manfaat pengetahuan tersebut (aksiologi).
Lalu secara khusus elaborasi epistemologi, meliputi paradigma, strategi, metode, dan teknik riset saintifik.
Bagi mahasiswa apalagi dosen --yang wajib meningkatkan kemampuan metodologisnya-- penguasaan metodologi sains ini adalah wajib sebagai dasar pembentukan kemampuan berpikir logis dan sistematis.
Masalahnya, kuliah metodologi sains di perguruan tinggi umumnya cenderung dangkal. Filsafat ilmu dikesampingkan. Hanya membicarakan aspek metode riset sains, seperti metode kuantitatif (survei, eksperimen) dan metode kualiatif. Itu pun pembahasannya cenderung sempit dan teknis.
Akibatnya, tak sedikit dosen serta mahasiswa yang lemah dalam kemampuan berpikir saintifik, yakni berpikir logis dan sistematis. Sebab kemampuan ini sebenarnya dibangun lewat diskusi filsafat ilmu, khususnya epistemologi.
Sebab, dasar riset saintifik adalah penguasaan logika dan sistematika. Artinya, mahasiswa dan dosen harus mampu berpikir logis dan sistematis.
Jadi, tanpa kemampuan tersebut, maka baik mahasiswa maupun dosen tidak akan mampu membantun sebuah desain riset.
Dengan tak memiliki pemahaman metodologi sains, mereka tak akan mampu membangun misalnya logika keterkaitan antara masalah, pertanyaan, teori, konsep, variabel, hipotesis, data, metode, dan teknik riset secara sistematis.
Selanjutnya, ketidakmampuan berpikir logis dan sistematis itu juga membuat dosen dan mahasiswa jadi malas berpikir saat dihadapkan pada keharusan membuat tugas makalah, skripsi, tesis, ataupun disertasi.