Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
ANDI SAMSU RIJAL
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama ANDI SAMSU RIJAL adalah seorang yang berprofesi sebagai Dosen. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Menilik Lebih Jauh Kehadiran AI dan Etika Akademik Kita

Kompas.com - 20/03/2023, 15:11 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Kemunculan Artificial Intelligence (AI) sebagai teknologi terbarukan merupakan sebauh keniscayaan yang mesti dihadapi.

Tak dimungkiri, kehadiran AI beserta berbagai perangkat canggihnya sangat membantu kebutuhan masyarakat saat ini, terutama yang berkaitan dengan teknologi.

Memangnya, apa manfaat AI? Salah satu manfaat yang bisa dirasakan dari kemunculan AI ini adalah AI bisa mengarahkan kita bekerja lebih efektif dan efisien, tak terkecuali dalam bidang akademik.

Akan tetapi, memang perlu diakui tidak semua bekerja efektif dan efisien ini masuk kategori etika akademik di negara kita. Jadi, dampak AI khususnya ChatGPT justru malah akan berpengaruh negatif bila kita tidak bisa memanfaatkkannya ke hal baik.

Sebagai mahasiswa tentu harus tetap berpedoman pada pengajar atau dosen. Dalam artian ada hal-hal etis yang perlu dijaga agar tidak melakukan plagiarisme.

Bila terjadi plagiarisme, maka tidak hanya merusak etika akademik yang ada melainkan juga dapat merusak diri pribadi si pelaku.

Mungkin bisa saja mahasiswa tersebut berhasil menyelesaikan tulisan atau karya ilmiah dengan baik dengan aksi plagiarisme. Namun, saat ini dunia akademik kita sudah terdapat sistem atau mesin pendeteksi plagiarisme bernama turnitin.

Turnitin merupakan sebuah aplikasi yang digunakan sebagai salah satu indikator untuk memeriksa seberapa besar tingkat plagiarisme seorang penulis karya ilmiah.

Di samping itu sebenarnya pihak kampus atau perguruan tinggi juga telah menyediakan layanan pembimbingan karya ilmiah bagi mahasiswa yang diberikan oleh dosen sebagai seorang penanggung jawab.

Pembimbing tersebut juga memahami batas-batas tertentu, misalnya sampai di mana penggunaan referensi dari google atau melalui ChatGPT.

Meski kemunculan AI dengan ChatGPT-nya saat ini hadir sebagai layanan teknologi untuk manusia, namun hal tersebut tetap memiliki batasan-batasan sosial tertentu dalam dunia akademik.

Ketika menggunakan ChatGPT, seseorang bisa saja mengajukan pertanyaan, kemudian ChatGPT akan memberikan jawan yang sesuai. Jawaban dari ChatGPT atas pertanyaan yang diajukan bisa saja memang benar, dalam artian sebuah teknologi akan memberikan jawaban benar atau salah saja.

Akan tetapi, beda dengan dosen. Dosen bisa lebih dari itu. Seorang dosen bisa memberikan jawaban atas pertanyaan sekaligus memberikan penjelasan. Dengan begitu, akan tercipta dialog akademis antara mahasiswa dengan dosen.

Artinya, bisa dikatakan bahwa layanan teknologi ChatGPT bisa saja dijadikan sebuah referensi akademik, akan tetapi tidak menjamin proses akademik berjalan dengan baik.

Teknologi memberikan pengetahuan (sekedar tahu) tetapi tidak bisa memberikan pemahaman lebih mulai dari dasar ilmu pengetahuan, paradigmatis, teoritis hingga praktik keilmuan dalam karya tulis dan di masyarakat.

Ada Hal-hal Tertentu yang Tidak Bisa Digantikan oleh Teknologi

Ketika menghadiri sebuah acara peringatan Isra Miraj di masjid salah satu PTN di Yogyakarta beberapa minggu lalu, tema yang diangkat cukup menarik, yakni “Merawat Spiritual Menuju Puncak Kemajuan Teknologi Peradaban Manusia.”

Salah satu pembicara yang hadir saat itu adalah Anggota Komisi Fatwa Mui Pusat, K.H. Mahbub Ma’afi. Ketika acara berlangsung ada peserta yang melontarkan pertanyaan sederhana soal apa kaitannya Isra Miraj dan AI.

Apakah AI nantinya akan menggantikan fatwa yang ada atau AI malah bisa melahirkan fatwa?

Dari pertanyaan itu, jawaban yang diberikan adalah bahwasannya sejauh ini teknologi tidak mampu menandingi apa yang terjadi pada peristiwa Isra Miraj.

Barangkali ke depannya AI bisa saja diterapkan di berbagai hal termasuk dalam bidang fatwa atau akademik. Namun, tetap saja ada hal-hal tertentu yang tidak bisa digantikan oleh teknologi.

Seperi misalnya berguru, proses belajar, dapat barokah ke guru, dicontoh dan memberi contoh, dsb.

Sejatinya, posisi AI saat ini dalam praktiknya hanya sebatas identifikator. Artinya, sebagai sebuah teknologi tentu masih terdapat sisi kelemahan yang hanya bisa dikontrol oleh manusia.

Pengalaman mengikuti diskusi soal AI tersebut memberikan saya gambaran bahwa kehadiran AI dan segala macam perangkatnya, sejatinya hanya untuk memudahkan kerja manusia.

Hal yang perlu digarisbawahi ialah kontrol atas teknologi tersebut tetap dipegang oleh manusia. Bukan sebaliknya, manusia yang malah dikendalikan oleh teknologi.

Pada akhirnya, segala kemungkinan AI ada di tengah-tengah kita termasuk menjadi referensi akademik bagi yang sedang mengerjakan tugas akademik.

Namun, perlu diingat bahwa teknologi tersebut hanyalah sebuah alat pembacaan dan pencarian. Artinya, apa yang dihasilkan oleh teknologi belum tentu seakurat dan seilmiah dengan apa yang ditawarkan model konvensional dalam dunia akademik.

Dalam dunia akademik terdapat etika antara dosen dengan mahasiswa, ada jarak sosial antara mahasiswa dan dosen yang akrab, renggang, atau biasa saja. Sementara jarak kita dengan AI tidak terukur bahkan terkadang mebuat tidak sosialis seperti hubungan kita sesama manusia.

Maka dari itu, kemunculan AI dan GPT sejatinya adalah keniscayaan dalam perkembangan teknologi serta perkembangan zaman. Namun, teknologi tetap tidak akan menggantikan semua hal.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Jumlah Mesin ATM Terus Berkurang, Ada Apa?

Jumlah Mesin ATM Terus Berkurang, Ada Apa?

Kata Netizen
4 Alasan Orang Indonesia Suka Makanan Pedas

4 Alasan Orang Indonesia Suka Makanan Pedas

Kata Netizen
Peran Vital Guru Honorer dan 'Cleansing' yang Terjadi

Peran Vital Guru Honorer dan "Cleansing" yang Terjadi

Kata Netizen
Menyikap 'Rayuan Bos', Apa yang Mesti Dilakukan Bawahan?

Menyikap "Rayuan Bos", Apa yang Mesti Dilakukan Bawahan?

Kata Netizen
Lembaga Survei, Elektabilitas, dan Strategi Partai

Lembaga Survei, Elektabilitas, dan Strategi Partai

Kata Netizen
Dari Seorang Introvert Kita Belajar...

Dari Seorang Introvert Kita Belajar...

Kata Netizen
Menyemangati Anak Ketika Gagal Masuk Sekolah Favorit

Menyemangati Anak Ketika Gagal Masuk Sekolah Favorit

Kata Netizen
Budget Tipis dari Klien, Terima atau Tolak?

Budget Tipis dari Klien, Terima atau Tolak?

Kata Netizen
5 Cara Meningkatkan Kinerja Guru Sesuai dengan Kurikulum Merdeka

5 Cara Meningkatkan Kinerja Guru Sesuai dengan Kurikulum Merdeka

Kata Netizen
Fenomena 'Makan Tabungan', Kenapa Bisa Makin Marak?

Fenomena "Makan Tabungan", Kenapa Bisa Makin Marak?

Kata Netizen
Pemimpin Populis pada Pilkada 2024

Pemimpin Populis pada Pilkada 2024

Kata Netizen
Istri Alami Baby Blues, Bukan Berarti Manja atau Lebay

Istri Alami Baby Blues, Bukan Berarti Manja atau Lebay

Kata Netizen
PPBD dan Niat Membuat Pendidikan Berkualitas serta Berkeadilan

PPBD dan Niat Membuat Pendidikan Berkualitas serta Berkeadilan

Kata Netizen
Apa yang Dipertimbangkan Sebelum Resign dari PNS?

Apa yang Dipertimbangkan Sebelum Resign dari PNS?

Kata Netizen
Ketika Judi Online Mulai Menyasar Pelajar

Ketika Judi Online Mulai Menyasar Pelajar

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com