Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Fenomena flexing atau perilaku pamer semakin marak terjadi di media sosial belakangan ini. Tidak melulu soal memamerkan harta kekayaan, mengagumi kesuksesan secara berlebihan juga termasuk flexing.
Flexing atau pamer sebenarnya sudah populer beberapa tahun yang lalu, hanya saja bentuk perilaku pamer saat ini sangat mencolok karena pelakunya bukan hanya dari golongan pengusaha saja namun juga dari pegawai pemerintahan bahkan masyarakat biasa yang mendadak jadi kaya.
Meski flexing atau pamer sering sering dipandang negatif. Lantas, mengapa masih ada orang melakukan flexing terlebih di media sosial?
Bagi orang yang suka flexing percaya bahwa dengan melakukan hal tersebut, mereka akan diterima dalam pergaulan jika mereka termasuk ke dalam kelompok remaja. Sedangkan, bagi orang kaya baru, flexing dilakukan untuk mencari pengakuan dan perhatian dari orang lain.
Orang-orang tersebut ingin membuktikan bahwa mereka berhasil meraih pencapaiannya serta kemampuannya. Dan, ada juga yang pamer untuk menciptakan kecemburuan, iri hati, serta emosi negatif lainnya pada orang lain.
Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa menjadi kaya dan terkenal adalah prioritas utama generasi saat ini. Media sosial telah banyak memberikan ide yang salah bahwa gaya hidup seperti itu mudah dicapai dengan mudah hanya dalam waktu sekejap.
Pada kenyataannya, sebagian besar uang atau kekayaan yang ditampilkan di media sosial sebenarnya bukan milik pribadi dari orang yang mempostingnya.
Bisa saja milik dari orang tuanya, milik suaminya, atau saudaranya yang mempunyai jabatan di sebuah institusi pemerintahan, mungkin juga uang dari hasil kejahatan investasi bodong.
Sebagian masyarakat lupa bahwa media sosial adalah realitas yang dipamerkan. Misalnya, mobil, rumah besar dan barang berharga, bahkan kunjungan wisata keluar negeri yang dipamerkan oleh orang yang mempostingnya bisa jadi sebenarnya adalah milik rumah majikannya atau bahkan hasil dari manipulasi olah digital.
Banyak hal yang didapat dari perilaku flexing, seperti dengan mendapatkan follower jadi menumbuhkan rasa percaya diri, gengsi, dan lain-lain.
Flexing adalah bentuk gambaran untuk membuktikan bahwa seseorang itu mampu, jika tidak ada bentuk dari flexing, orang tersebut dianggap tidak mampu atau bohong. Pikiran seperti ini banyak berkembang di masyarakat luas, seperti istilah “No Picture Hoax”.
Banyak orang senang mengungkapkan tentang kehidupan mereka secara online. Mereka suka menggambarkan bahwa kehidupannya seakan-akan harmonis dan bahagia. Padahal kenyataannya sama sekali tidak demikian.
Banyak orang diberkahi dengan kehidupan yang baik tanpa peduli pada eksistensi di media sosial maupun di dunia yang sebenarnya. Mereka benar-benar tidak perlu memasang foto setiap kali pergi ke restoran mewah atau menunjukan koleksi barang-barang mewahnya atau sedang mengendarai mobil mewah di sosial media.
Media sosial memungkinkan siapa saja menjadi siapa saja, bahkan bisa menjadi pengguna yang berbeda dari sebenarnya bahkan bertolak belakang dengan kenyataan.
Kita memiliki sesuatu untuk dipamerkan, manusia juga ingin digambarkan menarik dan ingin terlihat mampu, cerdas, serta populer.
Media sosial adalah pembentuk realitas yang belum tentu kebenarannya, hal ini berdampak pada bagaimana seseorang berpikir, bertindak, dan menjalani kehidupan hanya berdasarkan ukuran materi. Hal ini dapat menciptakan karakter individu yang hanya berorientasi pada materi.
Sah-sah saja jika seseorang pamer kekayaan tetapi ada beberapa hal yang tidak dapat diperoleh atau dibeli dengan uang. Seperti kutipan dari George Lorimer, “It's good to have money and the things that money can buy, but it's good, too, to check up once in a while and make sure that you haven't lost the things that money can't buy.”
Jika kita kaitkan flexing dengan moral, maka akan berhubungan dengan tindakan seseorang yang dalam hal sifat, perangai, kehendak, pendapat, atau perbuatan yang layak dikatakan benar atau salah, baik atau buruk.
Terkait dengan masalah moral adalah pengetahuan bahwa ada yang baik dan ada yang buruk yang dengan pengetahuannya ia memilih untuk melakukan suatu perbuatan tanpa ada paksaan dari siapapun. Suatu perbuatan itu bisa dikategorikan baik atau buruk jika perbuatan dilakukan secara sadar atau karena punya kesadaran moral.
Orang yang melakukan suatu perbuatan tanpa ada kesadaran, maka perbuatan itu tidak dapat dikategorikan baik atau buruk. Dengan kesadaran itu manusia diberi kebebasan untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Apa yang dilakukannya tentu mempunyai akibat-akibat tertentu.
Media sosial memiliki kekuatan untuk mempengaruhi individu bahkan masyarakat luas dalam pengambilan keputusan, respons, kebiasaan, karakter, keterampilan, dan konsumsi perilaku. Hal ini disebabkan pergeseran makna dari fakta dari objek menjadi subyektif.
Salah satu hal positif yang dapat kita ambil dari flexing adalah digunakan sebagai alat pemasaran. Tetapi di dunia maya ada peran warganet sebagai kontrol sosial bahkan agen sosial terhadap pengguna media sosial.
Aksi warganet dapat memberikan tekanan perubahan ketika sesuatu tidak sesuai bahkan mengawal jika hukum berjalan terasa lambat maka suara dari warganet menjadi menyeruak dalam menyuarakan keadilan. Algoritma telah memberi kesempatan kepada warganet untuk membuat suaranya tetap terdengar.
Tidak hanya media sosial, media mainstream juga dapat dipengaruhi oleh aksi warganet karena warganet bisa menjadi kekuatan dalam mempromosikan citra perusahaan maupun reputasi untuk menjadi lebih baik.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Media Sosial Menjadi Wadah "Flexing""
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.