Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mahéng
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Mahéng adalah seorang yang berprofesi sebagai Penulis. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Pilpres 2024: Dari Polaritas, Dampak Politik, dan Tantangan Pendidikan

Kompas.com - 30/06/2023, 23:11 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Semakin mendekati hari pemilihan presiden yang akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024 mendatang, atmosfer politik ikut memanas.

Pertempuran narasi antar relawan ketiga bakal calon presiden (Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto) telah menguasai perbincangan publik tanpa henti. Arena politik pun otomatis dipenuhi gejolak.

Kita bisa melihat berbagai perang retoris yang menghiasi media sosial dan layar gawai. Ada relawan yang merasa jagoannya menjadi target penjegalan, diintervensi, bahkan ada yang tak segan menuduh presiden yang sedang berkuasa terlibat dalam "cawe-cawe" politik.

Perlu diakui memang masyarakat Indonesia banyak yang belum sepenuhnya menyadari dampak dari polarisasi yang terjadi dalam dunia politik.

Pada perhelatan Pilpres 2019 lalu, bangsa ini pernah terpecah menjadi dua kubu yang saling berseberangan hingga muncul julukan seperti “Cebong” dan “Kampret”.

Kedua julukan itu selanjutnya menjadi simbil perbedaan ideologi dan pandangan politik masing-masing pengikutnya.

Bahkan, ada yang sampai mendoakan agar jagoannya terpilih. Jika tidak, maka ia khawatir tidak akan ada lagi yang menyembah Tuhan. Hal ini seolah-olah menggambarkan keselamatan dan kesalehan agama hanya bergantung pada pilihan politik semata.

Terkait hal ini sebagai orang awam saya jadi bingung. Bagaimana mungkin mereka yang dulu saling bertarung kini berjalan seiring bahu seayun langkah di panggung kekuasaan? Apakah hal yang sama juga akan terjadi pada koalisi 2024 yang akan terbentuk saat ini?

Saya bertanya-tanya di dalam imajinasi liar saya, apakah mungkin sebenarnya bakal calon yang akan bertarung adalah sekelompok wayang dengan dalang yang sama?

Justru saya lebih mengkhawatirkan hal yang disampaikan oleh A.M. Safwan, Koordinator JAKFI Nusantara, dalam Kuliah Umum Filsafat Pendidikan: Antara Pengetahuan Instrumen dan Kapitalisme Moral yang diselenggarakan secara daring pada Rabu, 14 Juni 2023 yang lalu.

Pada kesempatan itu, beliau menyampaikan di era post-truth seperti saat ini, kita bisa melihat contoh nyata dari kekacauan politik yang terjadi belakangan ini.

Sayangnya, politik kita seringkali menyederhanakan masalah, seakan-akan panggung politik hanya berkisar pada persaingan antara calon presiden dan calon wakil presidennya. Lalu, apakah kita mengira semua masalah sudah teratasi hanya dengan itu?

Politik di negeri kita seringkali bergantung pada tokoh-tokoh populer, berdasarkan survei, atau berdasarkan algoritma. Padahal hal-hal seperti popularitas seseorang tidak selalu bisa mencerminkan kemampuannya sebagai pemimpin.

Sebagai gambaran, banyak komedian atau tokoh populer lainnya yang mungkin memiliki pengaruh besar di masyarakat, akan tetapi hal itu belum tentu menunjukkah bahwa mereka memiliki kualitas kepemimpinan yang dibutuhkan untuk meminpin negara.

Seharusnya, politik melibatkan hal-hal yang lebih besar dari sekadar tokoh populer dan pertarungan kekuasaan. Paradigma, budaya politik, dan etika politik juga harus menjadi bagian integral dari proses politik.

Dalam hal ini paradigma politik mencakup landasan pemikiran, ideologi, dan prinsip yang mengarahkan tindakan politik.

Ironisnya kita seringkali terlibat dalam perdebatan dan menghabiskan energi untuk mendukung calon yang kita anggap ideal, akan tetapi kita seringkali melupakan esensi menjadi bagian dari sebuah bangsa dan negara.

Kita sering lupa bahwa siapapun yang memenangkan pemilihan nantinya, akan tetap berada dalam genggaman oligarki yang kuat.

Salah satu hal yang memegang peranan krusial dalam menciptakan pemimpin yang mampu membawa bangsa ini menuju kemakmuran adalah pendidikan.

Di dalam konteks filsafat pendidikan Islam, ada dua hal utama yang perlu dibangun.

Pertama, kemampuan berpikir kritis. Jika para peserta didik hanya pasif dan menuruti apa yang dikatakan oleh para pengajar, maka pendidikan tersebut dapat dianggap gagal.

Sayangnya memang perlu diakui selama ini terdapat kekurangan dalam pendidikan kita karena sikap kritis tidak diajarkan secara memadai.

Seringnya siswa hanya diajarkan untuk menjadi penurut atas semua instruksi guru, dosen, atau otoritas lainnya.

Maka akibatnya ketika anak-anak itu tumbuh dewasa dan menjadi pemimpin, mereka akan cenderung kurang memiliki kemampuan berpikir kritis.

Kemungkinan mereka akan tunduk dan mengikuti kehendak ketua partai atau otoritas lainnya tanpa bisa menggunakan nalar kritis mereka sendiri, apakah perintah yang diberikan padanya itu tepat atau tidak.

Kedua, penting untuk mendorong kreativitas dalam pendidikan. Hal ini berarti tidak hanya fokus pada aspek kognitif semata, tetapi juga melihat masalah secara komprehensif.

Hal ini karena permasalahan yang dihadapi di kehidupan nyata sangatlah kompleks dan melibatkan berbagai variabel yang saling terkait. Bukan hanya soal siapa presidennya dan siapa wakilnya, semua masalah akan teratasi.

Pendidikan yang efektif haruslah bersifat integratif dan tidak terpaku pada ego sektoral yang sempit.

Sejatinya, seorang calon pemimpin bangsa tak hanya perlu menguasai ilmu politik saja, melainkan juga ilmu lainnya yang terintegrasi, seperti sosiologi, antropologi, dan disiplin ilmu lainnya.

Selain itu, pemimpin juga harus memiliki pemahaman yang baik tentang sejarah perjalanan bangsa.

Ketika pemimpin memiliki pemahaman yang mendalam tentang ilmu politik, mereka dapat memahami sistem politik, struktur kekuasaan, dan mekanisme pengambilan keputusan.

Dalam konteks pemahaman mengenai kondisi sosial, budaya, dan nilai-nilai yang membentuk masyarakat, pemahaman di bidang sosiologi dan antropologi sangatlah penting dimiliki oleh para calon pemimpin.

Artinya, ilmu-ilmu ini akan sangat membantu pemimpin dalam memahami dinamika sosial, keragaman budaya, dan interaksi sosial yang dapat memengaruhi kebijakan serta pengambilan keputusan,

Di samping itu, sebagai pemimpin juga mesti memahami sejarah perjalanan bangsa, sebab ia akan bisa melihat pola-pola historis, belajar dari kesalahan masa lalu, dan menerapkan kebijakan yang sesuai dengan konteks sejarah.

Semangat seperti itu sesuai dengan harapan Bung Karno, bahwa pendidikan memiliki peran penting dalam membangun sifat integrasi pengetahuan. Sifat integrasi ini tidak bersifat sektoral, yang berarti pendidikan tidak boleh mengabaikan aspek-aspek lain yang relevan.

Pendidikan memang memiliki hubungan erat dengan berbagai jenis kecerdasan, seperti Intelligence Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Transcendental Quotient (TQ) atau kecerdasan spiritual.

Oleh sebab itu indikator kecerdasan bukan hanya sebatas pengetahuan yang dimiliki seseorang, melainkan juga meliputi kemampuan empati dan pemahaman yang mendalam terhadap aspek-aspek manusia yang lebih dalam.

Meski di era teknologi yang semakin canggih seperti sekarang ada teknologi kecerdasan buatan seperti Google dan AI yang memiliki kemampuan untuk menyimpan dan mengakses informasi, akan tetapi apakah kecerdasan buatan ini mampu menyentuh aspek-aspek terdalam dari diri manusia?

"Menurut saya, pendidikan kita ini tidak punya penghayatan, tidak punya satu kekuatan untuk orang menemukan hakekat dirinya sebagai seorang anak didik," ujar A. M. Safwan.

Sementara itu, Nurlaiha Ibrahim, Dosen dari Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon berpendapat pendidikan juga mencakup membimbing, melatih, memberi contoh, mengasihi, menjaga, menumbuhkembangkan, dan juga menyucikan.

"Pendidikan tak hanya tentang mengajar (transfer ilmu), namun juga tentang membimbing, melatih, memberi contoh, mengasihi, menjaga, menumbuhkembangkan, serta mensucikan," kata Nur.

Itulah sebabnya, lanjut Nur, pendidikan yang mampu menyentuh aspek kedalaman diri manusia, seperti jiwa, hati, dan akal, akan memiliki dampak yang lebih signifikan dalam mengembangkan kemampuan untuk mengendalikan ego, memunculkan kesadaran, serta menumbuhkan tanggung jawab terhadap kehidupan.

Dan sebaliknya, pendidikan yang hanya berfokus pada aspek intelektual semata dan mengabaikan pengembangan aspek lain, seperti aspek spiritual, sosial, dan budaya akan cenderung menghasilkan manusia sebagai alat produksi atau alat pekerja tanpa memiliki empati.

Hal inilah yang menjadi salah satu masalah terbesar yang perlu kita hadapi saat ini.

Di samping itu, banyak perguruan tinggi saat ini seringkali terkesan seperti perusahaan pencetak tenaga kerja dibandingkan menjadi lembaga pendidikan yang mendorong kreativitas.

Banyak perguruan tinggi kita malah cenderung menghasilkan lulusan yang hanya tunduk pada sistem, menjadi pekerja partai, dan kurang memiliki kapasitas serta kapabilitas untuk menjadi pemimpin kreatif serta membawa bangsa ini menuju kemandirian.

Terakhir, Nur juga menyampaikan karena sistem pendidikan kita yang kurang mementingkan pengembangan empati, dimensi spiritual menjadi rentan terhadap pertumbuhan kapitalisme moral. Keadaan ini mengarah pada perdagangan kebaikan dan jualan moral dengan mudah.

Contoh nyatanya bisa kita lihat dengan jelas dari mulai adanya praktik penetapan tarif manggung oleh ustaz (selebritas), hingga fenomena jual-beli ayat saat pemilihan umum menjadi hal yang biasa.

Berbagai fenomena tersebut justru menggambarkan bagaimana nilai-nilai moral dan spiritual seringkali dieksploitasi dan dijadikan objek transaksi ekonomi, bahkan dalam konteks jual-beli politik.

Harapannya, semoga keadaan ini tidak terulang pada Pilpres 2024 mendatang maupun koalisi 2024 yang belum jelas juntrungnya ini. [Mhg]

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Dampak Politik, Polaritas, dan Tantangan Pendidikan dalam Menghadapi Pilpres 2024"

 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Apa yang Membuat 'Desperate' Ketika Cari Kerja?

Apa yang Membuat "Desperate" Ketika Cari Kerja?

Kata Netizen
Antara Bahasa Daerah dan Mengajarkan Anak Bilingual Sejak Dini

Antara Bahasa Daerah dan Mengajarkan Anak Bilingual Sejak Dini

Kata Netizen
Kebebasan yang Didapat dari Seorang Pekerja Lepas

Kebebasan yang Didapat dari Seorang Pekerja Lepas

Kata Netizen
Menyiasati Ketahanan Pangan lewat Mini Urban Farming

Menyiasati Ketahanan Pangan lewat Mini Urban Farming

Kata Netizen
Mari Mulai Memilih dan Memilah Sampah dari Sekolah

Mari Mulai Memilih dan Memilah Sampah dari Sekolah

Kata Netizen
Menyoal Kerja Bareng dengan Gen Z, Apa Rasanya?

Menyoal Kerja Bareng dengan Gen Z, Apa Rasanya?

Kata Netizen
Solidaritas Warga Pasca Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki, Flores Timur

Solidaritas Warga Pasca Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki, Flores Timur

Kata Netizen
Kenali 3 Cara Panen Kompos, Mau Coba Bikin?

Kenali 3 Cara Panen Kompos, Mau Coba Bikin?

Kata Netizen
Tips yang Bisa Menunjang Kariermu, Calon Guru Muda

Tips yang Bisa Menunjang Kariermu, Calon Guru Muda

Kata Netizen
Dapatkan Ribuan Langkah saat Gunakan Transportasi Publik

Dapatkan Ribuan Langkah saat Gunakan Transportasi Publik

Kata Netizen
Apa Manfaat dari Pemangkasan Pada Tanaman Kopi?

Apa Manfaat dari Pemangkasan Pada Tanaman Kopi?

Kata Netizen
Kembangkan Potensi PMR Sekolah lewat Upacara Bendera

Kembangkan Potensi PMR Sekolah lewat Upacara Bendera

Kata Netizen
Menulis sebagai Bekal Mahasiswa ke Depan

Menulis sebagai Bekal Mahasiswa ke Depan

Kata Netizen
Membedakan Buku Bekas dengan Buku Lawas, Ada Caranya!

Membedakan Buku Bekas dengan Buku Lawas, Ada Caranya!

Kata Netizen
Menunggu Peningkatan Kesejahteraan Guru Terealisasi

Menunggu Peningkatan Kesejahteraan Guru Terealisasi

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau