Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Orang Batak Toba biasa menyebut “pisang” dengan “gaol” dalam bahasa asli Batak. Kata "pisang" adalah serapan dari Bahasa Indonesia.
Dalam bahasa Batak Toba ada istilah Lumbangaol atau “kampung pisang”, yang merujuk nama sebuah kampung yang ada di Toba Holbung dan Habinsaran juga sekaligus salah satu marga dalam masyarakat Batak Toba. Marga Hutagaol merupakan rumpun marga Marbun.
Selain itu ada juga satu umpasa, petitih Batak Toba yang berbunyi "marsiamin-aminan songon lampak ni gaol." Artinya "saling-lapis seperti pelepah batang pisang."
Andai pelepah-pelepah batang pisang itu tidak saling-lapis secara rapat dan padat menjadi batang semu, maka sudah pasti pohon pisang tidak kuat berdiri tegak. Pasti langsung rubuh.
Petitih itu lazim disampaikan orangtua Batak kepada anak-anaknya. Anak-anak harus saling-lapis satu sama lain untuk mendukung keutuhan dan kehormatan keluarga.
Atau ketika ada orang-orang yang mardongan-tubu, kerabat sedarah, berselisih, maka tulang (hula-hula, paman) mereka akan menasihati dengan mengujarkan petitih itu.
Dua hal di atas, nama kampung/marga dan petitih pisang, menandakan pisang adalah bagian budaya Batak Toba.
Ada alasan kuat mengapa pisang merupakan bagian budaya Batak Toba.
Pertama, tentu saja, bagian dari budaya tani Batak Toba.
Budaya tani Batak Toba mengenal empat lapis agroekologi. Lapis pertama porlak, kebun campuran di lahan belakang rumah.Kedua, sawah di area holbung, lembah. Ketiga, darat atau ladang, usahatani lahan kering (padu gogo dan palawija). Keempat, harangan, hutan desa sebagai sumber rotan, kayu, dan getah.
Bagi masyarakat Batak Toba, pisang atau gaol lazim dibudidayakan di porlak atau kebun belakang rumah. Pisang ini termasuk tanaman sumber pangan pertama yang diusahakan. Bersama-sama antirha, singkong, dan gadong insir alias ubi jalar.
Menanam pisang bagi masyarakat Batak Toba memiliki makna sosial-budaya dan sosial ekonomi. Secara sosial-budaya, pisang tergolong tanaman penanda huta alias perkampungan. Ada pohon pisang, berarti ada kampung.
Di balik penanaman pisang ada nilai budaya saling-lapis antar warga kampung. Hal ini memiliki makna bahwa warga kampung harus marsiamin-aminan songon lampak ni gaol. Artinya, warga harus saling-lapis, bersatu, demi tegaknya entitas sosial kampung.
Selanjutnya, secara sosial-ekonomi pisang itu merupakan tanaman utama dalam praktik permakultur, budidaya permanen dalam masyarakat Batak. Sekali tanam untuk selamanya.
Umumnya tanaman pisang bergerumbul di belakang rumah orang Batak. Ia bisa berkembang biak, beranak-pinak di situ dengan leluasa bahkan tanpa perlu pemeliharaan khusus. Tahunya panen buah, daun, dan jantung saja.
Salah satu jenis pisang yang biasa ditanam orang Batak di porlak adalah gaol singali-ngali (Musa acuminta) alias pisang dingin-dingin.
Pisang jenis ini dikenal juga seabgai varian pisang mas atau jari nona (lady fingers banana). Ada alasan mengapa pisang ini disebut singali-ngali, karena rasanya yang manis tapi dingin. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh udara dingin Toba.
Selain pisang mas atau jari nona, tentu juga ada jenis pisang lain, seperti pisang barangan, kepok, dan ambon. Namun, pisang singali-ngali bisa dibilang adalah pisang endemik Tanah Batak.
Hal ini dikarenakan jenis pisang mas atau singali-ngali boleh dibilang hidup dalam dan menghidupi budaya masyarakat Batak.
Mengapa begitu? Begini penjelasannya.