Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
***
Alasan itu berangkat dari pengalaman budaya yang bersifat subyektif di masa lalu tahun 1960-an sampai awal 1980-an. Atau dengan kata lain, saya telah mengalami dan menyaksikan sendiri eksistensi pisang sebagai bagian dari budaya Batak Toba selama kurang lebih 20 tahun.
Jika merujuk pada warga kampung saya, Kampung Panatapan (pseudonim), orang Batak menanam pisang untuk dua maksud.
Pertama, penanaman pisang dijadikan penanda kuasa atas tanah porlak alias kebun. Selain itu juga sebagai penanda sebuah kampung yang hidup secara sosial, ekonomi, dan budaya.
Sudah menjadi hal biasa bahwa setiap warga kampung memiliki hak atas tanah di belakang rumahnya. Tanah itulah yang disebut porlak. Dengan adanya pohon pisang, maka jadi penanda hak tersebut.
Kedua, menanam pisang bertujuan untuk mengambil manfaatnya sebagai penunjang kehidupan sosial-budaya dan sosial-ekonomi.
Biasanya orang Batak menanam pisang untuk diambil terutama buah dan daunnya. Buahnya tentu saja untuk dikonsumsi, namun selain itu juga ada yang dijual ke onan atau pasar mingguan.
Suatu hari saya pernah ikut terlibat dalam urusan jual menjual buah dan daun pisang ini di pasar Tigaraja Parapat. Sebelum dijual di pasar, pisang tua ditebang dari pohonnya. Sisiran-sisirannya kemudian dilepas dari tangkai buah untuk kemudian siap diperam.
Cara peramnya pun masih dilakukan secara tradisional. Sisiran-sisiran pisang tadi kemudian dimasukkan ke dalam pangombusan atau liang pemeraman dalam tanah yang dialasi dan ditutupi dengan daun pisang kering.
Proses selanjutnya, pada mulut liang diberi daun pisang kering yang dibakar. Asapnya diombus alias diembus, sehingga asapnya masuk ke dalam liang. Itulah sebabnya mengapa dibilang pangombusan alias pengembusan. Asap panah inilah yang berfungsi mempercepat pematangan pisang.
Pada sore tiga hari kemudian, pangombusan baru dibuka dan kita bisa melihat pisang yang matang sempurna. Pisang ini dikeluarkan serta disusun dalam keranjang rotan. Jika sudah begini, pisang siap dibawa dan dijual ke pasar esok harinya.
Selain buahnya, orang Batak juga biasa memanfaatkan daun pisang untuk membungkus lampet, kue bugis, atau lepat tepung beras khas Batak.
Varian kue yang paling terkenal adalah ombus-ombus Siborong-borong. Cara memakannya biasanya disajikan selagi panas sehingga mesti diombus-ombus alias diembus-embus lebih dulu agar dingin.
Selain digunakan sebagai pembungkus lampet, daun pisang kering yang liat juga dimanfaatkan untuk membungkus ikan asin di pasar. Biasanya ikan dibalut daun pisang kemudian diikat dengan tali serat yang berasar dari suwiran pelepah batang pisang kering. Kemasan ini sungguh ramah lingkungan.
Daun pisang ini juga kerap dibuat wadah saji makanan pada saat pesta adat. Daun pisang dipotong-potong dengan tulangannya, kira-kira seukuran tampi persegi empat.
Potongan tersebut selanjutnya diletakkan terbalik di tengah sekelompok tamu pesta yang biasanya berjumlah 4-6 orang. Umumnya pesta ini diadakan di halaman rumah.
Lalu parhobas alias pelayan pesta akan mengonggokkan segunungan kecil nasi di atasnya. Kemudian baru ditambah satu atau dua raup saksang alias daging babi cincang yang dimasak dengan darahnya.
Pemanfaatan daun pisang lainnya adalah sebagai “payung” saat hujan turun. Selembar daun pisang lebar yang dibentangkan di atas kepala saat hujan turun bisa menggantikan fungsi payung.
Selain buah dan daun pisang, orang Batak juga memanfaatkan bagian lain dari pohon pisang, yakni jantung pisang.
Jantung pisang umumnya diolah menjadi sayur, biasanya masyarakat Batak Karo yang membuat sayur olahan jantung pisang ini.