Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Seorang anak bisa dikatakan stunting ketika mengalami pertumbuhan tubuh yang terhambat, akibatnya tinggi badan anak tersebut tidak optimal dan lebih pendek jika dibandingkan dengan tinggi badan semestinya yang sesuai dengan usia mereka.
Stunting sendiri merupakan isu nasional yang sangat serius dan penting di banyak negara, tak terkecuali di Indonesia.
Isu stunting menjadi penting karena bisa berdampak pada perkembandan dan kualitas hidup anak-anak serta berpotensi memengaruhi produktivitas dan kemajuan suatu negara di masa depan.
Dalam jangka panjang, stunting dapat menyebabkan masalah yang serius, termasuk gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan otak anak, rendahnya dayan tahan tubuh, serta masalah kesehatan lain, seperti berbagai penyakit kronis yang bisa muncul kapan saja ketika anak beranjak dewasa.
Di samping itu, ketika anak mengalami stunting, mungkin juga ia akan kesulitan untuk berkonsentrasi, kesulitan untuk memahami pelajaran, dan kesulitan untuk belajar secara efektif.
Akibatnya tentu akan membuat pencapaian pendidikan mereka tak akan maksimal, juga akan membatasi peluang kerja mereka di masa depan. Semua ini akan menyebabkan rendahnya produktivitas tenaga kerja di masa depan.
Penanganan stunting tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit, ditambah lagi penanganan stunting juga memerlukan waktu yang panjang. Biaya tinggi ini dibutuhkan tak hanya di tingkat keluarga, namun juga terkait sistem kesehatan nasional.
Soal stunting dan biaya kesehatan nasional, saya pernah menulisnya di artikel berikut.
Sejak tahun 2018, pemerintah Indonesia sebenarnya secara intensif sudah melakukan berbagai upaya, termasuk mengeluarkan kebijakan beserta dana yang tak sedikit terkait percepatan penurunan tingkat stunting.
Namun sayang, usaha penanganan ini belum berhasil membuat angka stunting Indonesia menurun. Yang juga disayangkan adalah berbagai kebijakan yang dibuat terkait penanganan stunting terkesean direalisasikan setengah-setengah dan tak serius, mengingat betapa rendahnya sinergi antara satu kebijakan dengan kebijakan lainnya.
Masing-masing sektor cenderung bekerja sendiri-sendiri tanpa mempertimbangkan apakah kebijakan yang diluncurkan mampu mencapai tujuan bersama yang menjadi isu prioritas negara, yakni mengentaskan stunting.
Salah satu contohnya bisa dilihat ketika para orangtua selama ini sudah diberi sosialisasi untuk membeli berbagai sumber protein hewani sebagai instrumen gizi yang dibutuhkan guna mencegah stunting.
Ironisnya, di saat yang bersamaan sumber protein, seperti daging sapi atau dating ayam memiliki harga yang semakin tinggi setiap harinya.
Apalagi banyak orangtua Indonesia yang masih mendapat gaji jauh di bawah UMR padahal sudah bekerja keras dari pagi hingga petang.
Rendahnya penghasilan ini juga akan mengakibatkan rendahnya daya beli masyarakat terhadap sumber-sumber protein hewani tersebut. Pada akhirnya, gizi anak pun kerap kali tak tercukupi.
Rendahnya penghasilan yang diterima juga akan membuat banyak orang mencari pekerjaan tambahan demi bisa menambah pundi-pundi untuk keperluan keluarga.
Bagi para orangtua yang mengalami hal demikian, mereka akan lebih sering berada di luar rumah, otomatis pengasuhan terhadap anaknya akan sangat berkurang, hingga tak sempat lagi mengawasi pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya.
Mereka yang disibukkan oleh pekerjaan ini pun akhirnya memiliki waktu yang sangat terbatas bahkan hanya untuk menyiapkan makanan yang sehat dan bergizi bagi anak-anaknya.
Dengan minimnya waktu tersebut, pilihan kepada makanan cepat saji atau makanan instan mereka ambil. Padahal jenis makanan instan tersebut tidak banyak mengandung nutrisi penting yang dibutuhkan dalam perkembangan dan pertumbuhan anak.
Pola makan yang tidak tepat ini lalu dapat menyebabkan anak-anak kekurangan nutrisi dan berisiko stunting.
Kesibukkan mereka juga akan membuat mereka melewatkan pertemuan-pertemuan orangtua yang bersisi edukasi kesehatan di Posyandu. Melewatkan kesempatan untuk memantau pertumbuhan anak dan melewatkan edukasi-edukasi kesehatan terkait tumbuh kembang anak.
Sebenarnya bisa saja kita berasumsi dan menganggap bahwa tak ada lagi masyarakat yang berpenghasilan di bawah UMR karena negara sudah menjamin kesejahteraan semua masyarakatnya, masih banyak faktor lain yang herus diperhatikan oleh seluruh pihak untuk mewujudkan Indonesia tanpa stunting.
Faktor lain itu meliputi, pertama kebiasaan orangtua merokok di dalam rumah. Kebiasaan ini dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA serta diare yang sering menyebabkan rendahnya penyerapan gizi anak.
Kedua, rendahnya cakupan imunisasi. Kondisi ini dipicu oleh beberapa kondisi menyedihkan lain, seperti terdapat resistensi dari beberapa kelompok maupun individu terhadap program imunisasi yang diberikan pemerintah.
Selain itu juga penyedia layanan imunitasi yang tak merata menjangkau seluruh wilayah akan membuat anak menjadi rentan terhadap penyakit-penyakit yang seharusnya dapat dicegah dengan imunisasi.
Ketiga, kondisi lingkungna yang kian hari semakin memprihatinkan. Di banyak tempat masih banyak limbah buangan perusahaan yang tak dikelola dengan baik dan akhirnya mencemari permukinan dan berpengaruh terhadap kualitas air juga kualitas udara masyarakat.
Padahal air tersebut adalah sumber utama masyarakat yang digunakan untuk berbagai keperluan, salah satunya adalah membuat makan dan minum.
Akibat tak sehatnya air yang dikonsumsi, maka akan menyebabkan banyak anak yang terinfeksi penyakit, seperti diare yang membuat banyak anak tak nafsu makan, dan pada akhirnya memiliki tingkat resapan nutrisi yang sanga rendah.
Keempat, stigma soal hal-hal penyebab anak menjadi stunting yang dibangun oleh masyarakat maupun tenaga kesehatan akan membuat Posyandu menjadi tempat yang menyeramkan bagi banyak orangtua.
Stigma tersebut akan menahan mereka untuk rutin melakukan monitoring terhadap pertumbuhan anaknya. Padahal dengan rutin melakukan monitorin terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, orangtua telah berkontribusi dalam upaya penurunan angka stunting di Indonesia.
Kelima, adanya perbedaan kemampuan serta kapasitas para tenaga dan kader kesehatan di lapanagan yang melakukan pengukuran antropometri dan melakukan rujukan ke fasilitas kesehatan tingkat lanjutan.
Hal ini juga perlu mendapat perhatian bersama. Bagaimana caranya agar semua tenaga serta kader kesehatan yang berada di lapangan mampu melakukan pengukuran antropometri dan rujukan ke faskes lanjutan dengan baik.
Keenam, kondisi lingkungan atau geografis. Kondisi geografis seperti topografi wilayah serta jarak dari rumah masyarakat ke fasilitas kesehatan tingkat primer, seperti Posyandu, Puskesmas, maupun faskes tingkat lanjutan, yakni Rumah Sakit juga menjadi kendala tersendiri mengapa masalah stunting tak kunjung bisa diselesaikan dengan baik.
Sekali lagi, stunting adalah sebuah kondisi yang multifaktorial yang berarti kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor yang berperan bersama dalam memengaruhi pertumbuhan anak. Stunting tidak boleh dianggap sebagai akibat dari suatu faktor yang tunggal.
Upaya untuk memenuhi hak anak dalam memperoleh pertumbuhan yang optimal bisa diibaratkan seperti orkestra dari sebuah sistem. Dengan demikian, stunting ialah tanda dari lemahnya sistem secara keseluruhan.
Jika pemerintah hanya fokus untuk membenahi satu aspek dan mengabaikan aspek lainnya, pengentasan stunting tentu akan berujung menjadi wacana belaka selamanya.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Stunting, Sebuah Tanda Lemahnya Sistem Kebijakan"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya