Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Hari Anak Nasional yang jatuh setiap 23 Juli terus menjadi pengingat kita tentang bagaimana masa depan anak-anak nanti.
Oleh karena itu, kita tidak bisa menyederhanakannya begitu saja tentang apa saja hal-hal yang dapat memengaruhi kualitas anak-anak hari ini.
Maka, dengan mengusung tema "Anak Hebat, Indonesia Kuat Menuju Indonesia Emas 2045", peringatan ini menjadi ajakan bagi semua pihak.
Orang tua, guru, pemerintah, hingga masyarakat digital perlu bergerak bersama guna membentuk generasi unggul yang siap menghadapi zaman.
Namun, bagaimana jika anak-anak dari masa depan itu kini dipenuhi oleh konten viral yang dangkal, algoritma adiktif, dan nilai-nilai kosong?
Fenomena brain rot, yaitu kemunduran daya pikir dan minat belajar akibat konsumsi konten instan secara berlebihan, semakin mengintai anak-anak kita.
Maka, pertanyaan penting pun muncul: apakah kita sedang menulis masa depan yang kuat, atau justru menghapusnya secara perlahan melalui layar yang terus menyala?
Brain Rot, Ancaman Nyata di Era Digital
Di balik kemudahan akses informasi dan hiburan yang ditawarkan internet, terdapat sisi gelap yang mulai meresap diam-diam dalam kehidupan anak-anak: brain rot.
Istilah ini merujuk pada kondisi menurunnya fungsi kognitif, konsentrasi, dan minat belajar akibat paparan konten digital yang berlebihan, dangkal, dan adiktif.
Fenomena ini semakin nyata ketika anak-anak lebih hafal nama selebgram daripada pahlawan nasional, lebih tertarik menonton video lucu berdurasi 15 detik daripada membaca cerita bergizi yang bisa menumbuhkan empati dan imajinasi.
Apa yang terlihat sepele—seperti scrolling TikTok atau YouTube Shorts selama berjam-jam—sebenarnya berdampak besar terhadap cara otak anak bekerja.
Konten cepat saji yang mengutamakan hiburan instan mendorong anak untuk selalu mencari sensasi baru dan cepat bosan terhadap hal-hal yang membutuhkan proses dan konsentrasi.
Mereka kehilangan daya tahan belajar, sulit fokus, dan cenderung pasif dalam berpikir.
Lebih mengkhawatirkan lagi, banyak dari mereka mengembangkan sikap apatis, mudah terprovokasi, dan rendah empati karena terbiasa dengan interaksi yang serba singkat dan artifisial.