Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ang Tek Khun
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Ang Tek Khun adalah seorang yang berprofesi sebagai Freelancer. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Kisah tentang Donggala dan Pedagang Keliling Lainnya

Kompas.com - 28/07/2025, 15:34 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Pernah terbayangkan dan/atau terpikir, kira-kita kapan mulai ada pedagang keliling di tanah Indonesia? Siapa yang memulai? Dan, apa barang dagangan yang dijual?

Keberadaan pedagang keliling di Indonesia sudah dimulai sejak era kerajaan-kerajaan di nusantara, "hidup" sebelum era kolonial.

Jejak awal aktivitas mereka ditengarai sejak era nusantara kuno, sebelum abad ke-15. Jika ingin menelusurinya, kita akan menemukan berbagai format perdagangan tradisional yang eksis kala itu.

Mereka hadir di baik di masyarakat pedesaaan maupun di kota-kota pelabuhan. Bahkan dalam praktiknya, mereka bisa berpindah-pindah antardesa atau antarkota. Mereka menjual hasil bumi, rempah-rempah, atau kerajinan.

Dalam masyarakat Jawa dan Sumatra kuno, para pedagang keliling ini dikenal sebagai "sudagar".

Mereka berkeliling seraya membawa barang dalam pikulan. Sebagian, sesuai konteks lokal, menggunakan perahu bila di wilayah pesisir. 

Donggala: Cerita Kota dan Saya

SAYA mampir lahir dan tumbuh di pelosok Pulau Sulawesi. Di sebuah kota yang tak lagi menarik untuk dihampiri pendatang---bahkan terasa asing untuk sekadar disebutkan namanya.

Satu-satunya yang bisa saya banggakan pada bertahun lampau adalah nama Donggala yang tercantum dalam permainan (board game) Monopoli.

Dulu, kota ini dikenal oleh Belanda. Setelahnya, namanya sempat tersebutkan di tahun-tahun random dalam rentang waktu yang panjang.

Pembaca sastra lama, mungkin pernah membaca novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Buya Hamka. Namun, seberapa lekat nama ini di benak para pembaca novel?

Lebih dari itu, terlampau berat menandai kota ini dalam "Tetralogi Pulau Buru" dari Pramoedya Ananta Toer. Bahkan di dunia keartisan, fans aktor Ray Sahetapy generasi Facebook, tentu tak memusingkan di mana almarhum lahir.

Bahkan, tatkala gempa besar dan tsunami melanda Sulawesi Tengah (2018), kota ini hanya disebut dalam selintasan di "banjir" kata-kata dan kalimat.

Sejak pelabuhan laut dibangun dan diresmikan di dekat ibu kota provinsi (baca: Palu), Donggala sebagai "Kota Bandar" perlahan meredup. Bukan hanya soal keramaian lalu lintas para penumpang kapal Pelni, tetapi juga lalu lalang transportasi barang.

Aktivitas ekonomi kemudian menurun, pembangunan nyaris tak terlihat. Gudang-gudang besar menyerupai hanggar pesawat, yang dulunya menjadi persinggahan berton-ton kopra sebagai hasil bumi unggulan, kini terbengkalai dimakan karat.

Masa kecil saya ada di antara periode tersebut, masa ketika Hamka dan Pramudya menyebut Donggala dengan takzim melalui diksi "terkenal sebagai pelabuhan laut" dan "tempat singgah para pelaut".

Sementara saya, kerap menggambarkan kota kecil ini dalam ringkasan sebagai "yang belakangnya gunung, depannya laut". 

Pedagang Keliling Renceng Ikan

KEHIDUPAN keseharian di area kecil kampung nelayan di Donggala, dalam kesimpulan di benak kanak-kanak saya, bagai regulasi otomatis dalam sirkulasi harian.

Pada malam hari para nelayan, bersama perahu mereka, menuju bentang laut. Dan, kembali ketika gelap langit berkejaran dengan percik fajar menyingsing.

Lalu, hasil laut tersebut segera diusung untuk dijajakan di area paling menjorok ke laut, di kawasan yang disebut warga sebagai Pasar Lama.

Halaman:

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Mencecap Masa Lalu lewat Es Krim di Kedai Jadul
Mencecap Masa Lalu lewat Es Krim di Kedai Jadul
Kata Netizen
Kini CFD Cibinong Tanpa Penjual Jajanan, Ada yang Berbeda?
Kini CFD Cibinong Tanpa Penjual Jajanan, Ada yang Berbeda?
Kata Netizen
Jalan-jalan ke Pasar Buku Legendaris Kwitang, Jakarta
Jalan-jalan ke Pasar Buku Legendaris Kwitang, Jakarta
Kata Netizen
Dunia Global Mesti Waspada Ancaman Penyakit Flu Burung
Dunia Global Mesti Waspada Ancaman Penyakit Flu Burung
Kata Netizen
Melihat Sekolah di Korea Selatan Mengurangi Sampah Makanan
Melihat Sekolah di Korea Selatan Mengurangi Sampah Makanan
Kata Netizen
Mencari Batas antara Teguran dan Kekerasan di Sekolah
Mencari Batas antara Teguran dan Kekerasan di Sekolah
Kata Netizen
Cara Petani Desa Talagasari Memaksimalkan Lahan
Cara Petani Desa Talagasari Memaksimalkan Lahan
Kata Netizen
Sikap Guru pada Murid yang Sering Disalahartikan
Sikap Guru pada Murid yang Sering Disalahartikan
Kata Netizen
Adakah Cara biar Adil Memberi Nafkah ke Orangtua?
Adakah Cara biar Adil Memberi Nafkah ke Orangtua?
Kata Netizen
Peran Komunitas Jaga Pariwisata di Pulau Merak Besar
Peran Komunitas Jaga Pariwisata di Pulau Merak Besar
Kata Netizen
ASN Dipindah Tugaskan, Bagaimana Kondisi Sosial dan Psikologisnya?
ASN Dipindah Tugaskan, Bagaimana Kondisi Sosial dan Psikologisnya?
Kata Netizen
Sudah Tidak Mau Pelihara, Kok Malah Hewannya Dibuang?
Sudah Tidak Mau Pelihara, Kok Malah Hewannya Dibuang?
Kata Netizen
Ragam Makanan Aceh Besar, Mana Jadi Favoritmu?
Ragam Makanan Aceh Besar, Mana Jadi Favoritmu?
Kata Netizen
Sudah Siapkah Menerima Bapak Rumah Tangga di Sekitar Kita?
Sudah Siapkah Menerima Bapak Rumah Tangga di Sekitar Kita?
Kata Netizen
Akan Tiba Satu Masa, Anak Enggan Diajak Pergi
Akan Tiba Satu Masa, Anak Enggan Diajak Pergi
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Terpopuler
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau