
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Selain "uang suami itu uang istri dan uang istri ya tetap uang istri", ada juga versi yang lebih moderat, "uang suami ya uang suami, uang istri ya uang istri, tapi ada juga uang kita bersama untuk kebutuhan keluarga."
Diskusi yang kerap kita temui di media tentang ini sering mengundang perdebatan panjang. Ada yang militan membela sistem "uang istri, uang istri saja." Ada juga yang menganut paham "semua harus transparan, harus satu pintu."
Namun, ada satu realitas yang sering luput dari perbincangan. Bagaimana kalau kita hidup sebagai bagian dari sandwich generation?
Apa Itu Sandwich Generation?
Bayangkan sepotong sandwich. Di bagian bawah ada roti, di tengah ada isi, di atas ada roti lagi. Nah, generasi sandwich adalah mereka yang "terhimpit" di tengah-tengah, harus menanggung kehidupan anak-anak sekaligus membantu orang tua yang sudah lanjut usia.
Jika hidup seperti sandwich, pengelolaan uang dalam rumah tangga jelas berbeda dengan pasangan yang hanya mengurus diri sendiri dan anak. Ada "lapisan" tambahan yang harus dibiayai, dan lapisan itu seringkali tidak kecil.
Realita Keluarga Sandwich: Duitnya Nggak Pernah Cukup-Cukup
Mari jujur. Di keluarga sandwich, uang suami dan uang istri itu seringkali udah ludes sebelum sempat dipisah-pisah secara ideal.
Bayar sekolah anak, biaya hidup sehari-hari, cicilan rumah, plus kiriman bulanan untuk orang tua yang sudah pensiun atau sakit.
Misalnya begini:
Hasilnya? Uang yang "harusnya" bisa dipisah dengan elegan ala teori finansial, akhirnya tercampur begitu saja demi bertahan hidup.
Ibaratnya, mau bikin dua kolam terpisah, tapi airnya udah keburu ngalir semua ke satu wadah.
Pertanyaan berikutnya, kenapa uang suami-istri di keluarga sandwich sering nggak bisa pisah-pisah?
1. Karena Kebutuhan Melampaui Pemasukan
Keluarga sandwich sering hidup dalam kondisi "cukup tapi mepet." Dalam teori personal finance, ini masuk kategori cashflow deficit, yaitu pengeluaran rutin lebih besar atau nyaris sama dengan pemasukan.
Kalau diukur dengan rumus sederhana: Cashflow = Pemasukan - Pengeluaran
Maka di keluarga sandwich, hasilnya sering mendekati nol atau bahkan minus.
Mau pisah-pisah uang secara ideal? Bisa saja di atas kertas. Tapi kenyataannya, selalu ada pengeluaran tak terduga, seperti orang tua sakit, harus kirim uang ke kampung, atau adik butuh bantuan biaya sekolah.
Akhirnya, uang pribadi suami atau istri pun ikut dipakai untuk menambal kebutuhan keluarga besar. Mau tak mau, uang "aku dan kamu" jadi "kita semua."
2. Karena Budaya Kita Memang Kolektif
Indonesia adalah masyarakat kolektif, berbeda dengan negara-negara Barat yang individualistik. Kita tumbuh dengan nilai gotong royong, urunan, dan membalas budi pada orang tua.
Menurut teori budaya Hofstede, skor Collectivism Indonesia tergolong tinggi, sehingga konsep "uangku dan uangmu" terasa terlalu kaku. Di budaya kita, membantu orang tua dianggap kewajiban moral, bukan sekadar pilihan finansial.
Itulah sebabnya, dalam keluarga sandwich, uang suami dan istri sering tercampur demi memenuhi kebutuhan yang lebih besar dari sekadar rumah tangga inti.
3. Karena Ada Beban Moral yang Tak Terucap
Ada rasa bersalah yang mengintai saat kita terlalu perhitungan dengan orang tua atau mertua.
Meskipun teori keuangan rumah tangga menganjurkan adanya batasan yang jelas (financial boundary) antara kebutuhan keluarga inti dan keluarga besar, kenyataannya di lapangan, emosi dan nilai budaya ikut bermain.