Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Namun hal itu justru menimbulkan pertanyaan, apakah perkawinan dua ekor anjing itu pantas digelar dengan adat Jawa? Tidakkah itu suatu tindakan merendahkan atau menista budaya Jawa, khsusnya adat perkawinan?
***
Sejatinya, sebaik-baiknya perilaku seekor anjing tetaplah dia anjing yang tak berbudaya. Dan seburuk-buruknya perilaku seorang manusia tetaplah dia manusia yang berbudaya.
Hal ini karena perilaku seekor anjing dipandu oleh insting hewani yang dilatih manusia agar berorientasi pada kesetiaan dan perlindungan terhadap tuannya. Seekor anjing dikatakan cerdas jika berperilaku sesuai kehendak tuannya.
Sementara perilaku seorang manusia dipandu oleh intuisi dan rasio yang berkembang dalam koridor norma sosial dan dalam konteks budaya tertentu. Seorang manusia dikatakan cerdas secara sosial jika berperilaku sesuai rambu-rambu norma sosial dalam budayanya.
Artinya anjing dan manusia itu sejatinya dibedakan oleh budaya. Manusia memiliki budaya yang diciptakan dan dipedomani dalam hidupnya. Sedangkan anjing tidak memiliki budaya.
Secara sederhana, budaya dapat didefinisikan sebagai sistem pemaknaan dalam suatu masyarakat. Wujudnya berupa sistem norma, gagasan yang dirumuskan sebagai panduan perilaku (sikap dan tindakan), berikut materi (benda) yang diciptakan sebagai sarana perilaku itu.
Sistem norma itu sendiri terdiri dari empat tingkatan yang semakin tinggi tingkatannya, maka semakin ketat daya ikatnya serta semakin berat sanksi pelanggarannya.
Pertama, cara (usage), perbuatan spesifik individu yang mungkin hanya akan dicela orang lain bila taklazim.
Kedua, kebiasaan (folkways), aturan yang diikuti mayoritas warga. Sanksi bagi pelanggarnya ringan. Misalnya anak yang tidak salim pada orangtua akan ditegur.
Ketiga, tatalaku (mores), aturan yang menjadi standar perilaku sosial bagi setiap warga suatu masyarakat. Pelanggaran terhadap tatalaku ini diganjar sanksi cukup keras, misalnya pelaku hubungan seks di luar nikah dikenai denda berat.
Keempat, adat-istiadat (custom), aturan wajib yang paling mengikat bagi seluruh warga suatu masyarakat. Pelanggarnya akan dikenai sanksi sangat berat. Misalnya pelaku inses diusir keluar kampung.
Segala sistem norma ini dikonstruksi manusia untuk keperluan pengaturan hidupnya. Maka jelas sistem norma itu hanya berlaku untuk manusia, bukan untuk hewan seperti anjing.
Begitu pula dengan adat perkawinan Jawa. Sebagai bagian dari adat-istiadat, perkawinan Jawa jelas dikonstruksi hanya dan hanya untuk kepentingan manusia Jawa.
Dengan mengikuti aturan adat perkawinan, maka pasutri Jawa dinyatakan beradat dan bermartabat. Maka dengan begitu pasutri tersebut dterima sebagai bagian dari komunitas.
Sekarang coba kita renungkan. Jika sepasang anjing dinikahkan secara adat Jawa, apakah pasutri anjjng itu bisa memahami dan menjiwai makna adat itu? Apakah dengan begitu anjing menjadi beradat dan manusiawi?
Untuk memperjelas, ambil contoh unsur kembar mayang dalam perkawinan Luna dan Jojo, dua ekor anjing kaya-raya itu.
Dalam adat perkawinan manusia Jawa, kembar mayang itu punya makna filosofis dan sosial mendalam. Singkatnya, hal itu bermakna penyatuan sepasang manusia, laki-laki dan perempuan, telah menjadi sebuah keluarga yang menumbuhkan suatu pohon hidup baru. Di dalam keluarga itu ada harapan-harapan baik dan kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan untuk meraihnya.
Dua kembar mayang itu melambangkan Dewandaru dan Kalpandaru. Dewandaru adalah wahyu pengayoman. Harapannya mempelai pria dapat mengayomi keluarganya secara lahir batin.