Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Felix Tani
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Felix Tani adalah seorang yang berprofesi sebagai Ilmuwan. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Mendedah Kepantasan Pernikahan Adat Jawa untuk Anjing

Kompas.com - 07/08/2023, 12:02 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Berikanlah kepada manusia apa yang menjadi hak manusia dan kepada anjing apa yang menjadi hak anjing.

Kita mengenal anjing sebagai hewan yang setia kepada tuannya. Bahkan anjing dianggap lebih setia dibandingkan suami kepada istrinya atau istri kepada suaminya.

Mengenai hal ini, sudah banyak kisah kesetiaan anjing yang diceritakan sejak dulu. Kisah Hachiko (1923-1935) misalnya, salah satu kisah yang paling mengharukan.

Hachiko, anjing ras Akita ini setia setiap sore selama hampir 10 tahun menanti kepulangan Prof. Hidesaburo Ueno, tuannya yang telah meninggal dunia, di stasiun kereta api Shibuya, Jepang. Hanya kematiannya yang bisa menghentikan penantian itu.

Selain Hachiko, anjing dalam film Rin-Tin-Tin (1918-1932) yang merupakan anjing Gembala Jerman juga terkenal sangat setia dan cerdas. Ada juga anjing Rough Collie yang terdapat film televisi Lassie yang juga setia dan cerdas.

Hachiko, Rin-Tin-Tin, dan Lasie itu hanya untuk menyebut tiga dari banyak anjing dengan kisah kesetiaan, kecerdasan, dan kepahlawanan. Cerita-cerita semacam itu kini dengan mudah bisa diakses di YouTube dan TikTok.

Anjing yang memiliki perilaku cerdas, setia, dan melindungi itu membuat tuannya sangat menyayanginya layaknya anggota keluarga sendiri.

Kebutuhan primernya, seperti pakan, sandang, dan kandang, dipenuhi secara berkelimpahan. Termasuk di sini pemenuhan kebutuhan kesehatan dan pendidikan anjing.

Begitu pula dengan kebutuhan sekunder dan tersiernya yang selalu dipenuhi oleh tuannya. Antara lain seperti salon anjing, rekreasi di taman bermain anjing, dan hangout di restoran khusus anjing. Termasuk di sini rumah kremasi atau taman pemakaman anjing saat hewan itu mati.

Biaya yang dikeluarkan oleh para pemilik anjing tersebut juga tergolong besar. Upah minimum regional DKI Jakarta saja lewat jauh, sehingga kalau dihitung dari segi pendapatan per kapita, mayoritas buruh/pekerja di Jakarta jauh lebih miskin dibanding seekor anjing.

Tentu saja anjing-anjing yang dimaksud adalah yang dipelihara orang-orang kaya di Jakarta. Bukan tentang anjing-anjing "proletar" di pinggiran kota atau anjing-anjing "gelandangan" di gang-gang kota.

Ekpresi rasa sayang pemilik pada anjingnya memang kerap bikin geleng-geleng kepala. Baru-baru ini di YouTube ada konten ritual pemakaman seekor anjing bernama Snowee yang dilakukan seperti pemakaman manusia.

Ikatan afeksi yang intens antara anjing dengan tuannya, mungkin menjadi alasan di baliknya. Meski begitu, bagi saya hal itu tetaplah berlebihan.

Akan beda ceritanya bila ada anjing K9 kepolisian yang mati. Terkait hal ini sudah ada aturan pengormatan secara kedinasan untuknya. Misalnya kematian Archie, anjing K9 Archie milik Polda Sulselctahun 2020.

Dia mendapat kehormatan berupa upacara pemakaman secara kedinasan. Jasanya sangat besar antara lain dalam pencarian korban-korban gempa/tsunami/likuifaksi di Palu (2018) dan tanah longsor di Gowa (2019).

Jika seperti itu, masyarakat tentu masih bisa memahami soal ekspresi rasa sayang dan penghormatan yang diberikan apda seekor anjing. Sejauh itu tak menyinggung perasaan dan atau martabat kemanusiaan seseorang atau sekelompok orang.

Akan tetapi, kasus ritual perkawinan dua ekor anjing Alaskan Malamute, Luna dan Jojo, di PIK, Jakarta, baru-baru ini telah menuai reaksi ketersinggungan dari individu-individu dan kelompok-kelompok etnis Jawa.

Pasalnya ritual perkawinan mewah berbiaya Rp 200 juta, dengan 100 orang panitia, itu menggunakan adat perkawinan Jawa.

Tentu bisa dimengerti, tapi tak mesti disepakati, ritual perkawinan anjing itu adalah wujud ekspresi rasa sayang kedua pemilik, Valentina Cahandra dan Indira Ratnasari, terhadap anjing peliharaan mereka masing-masing.

Namun hal itu justru menimbulkan pertanyaan, apakah perkawinan dua ekor anjing itu pantas digelar dengan adat Jawa? Tidakkah itu suatu tindakan merendahkan atau menista budaya Jawa, khsusnya adat perkawinan?

***

Sejatinya, sebaik-baiknya perilaku seekor anjing tetaplah dia anjing yang tak berbudaya. Dan seburuk-buruknya perilaku seorang manusia tetaplah dia manusia yang berbudaya.

Hal ini karena perilaku seekor anjing dipandu oleh insting hewani yang dilatih manusia agar berorientasi pada kesetiaan dan perlindungan terhadap tuannya. Seekor anjing dikatakan cerdas jika berperilaku sesuai kehendak tuannya.

Sementara perilaku seorang manusia dipandu oleh intuisi dan rasio yang berkembang dalam koridor norma sosial dan dalam konteks budaya tertentu. Seorang manusia dikatakan cerdas secara sosial jika berperilaku sesuai rambu-rambu norma sosial dalam budayanya.

Artinya anjing dan manusia itu sejatinya dibedakan oleh budaya. Manusia memiliki budaya yang diciptakan dan dipedomani dalam hidupnya. Sedangkan anjing tidak memiliki budaya.

Secara sederhana, budaya dapat didefinisikan sebagai sistem pemaknaan dalam suatu masyarakat. Wujudnya berupa sistem norma, gagasan yang dirumuskan sebagai panduan perilaku (sikap dan tindakan), berikut materi (benda) yang diciptakan sebagai sarana perilaku itu.

Sistem norma itu sendiri terdiri dari empat tingkatan yang semakin tinggi tingkatannya, maka semakin ketat daya ikatnya serta semakin berat sanksi pelanggarannya.

Pertama, cara (usage), perbuatan spesifik individu yang mungkin hanya akan dicela orang lain bila taklazim.

Kedua, kebiasaan (folkways), aturan yang diikuti mayoritas warga. Sanksi bagi pelanggarnya ringan. Misalnya anak yang tidak salim pada orangtua akan ditegur.

Ketiga, tatalaku (mores), aturan yang menjadi standar perilaku sosial bagi setiap warga suatu masyarakat. Pelanggaran terhadap tatalaku ini diganjar sanksi cukup keras, misalnya pelaku hubungan seks di luar nikah dikenai denda berat.

Keempat, adat-istiadat (custom), aturan wajib yang paling mengikat bagi seluruh warga suatu masyarakat. Pelanggarnya akan dikenai sanksi sangat berat. Misalnya pelaku inses diusir keluar kampung.

Segala sistem norma ini dikonstruksi manusia untuk keperluan pengaturan hidupnya. Maka jelas sistem norma itu hanya berlaku untuk manusia, bukan untuk hewan seperti anjing.

Begitu pula dengan adat perkawinan Jawa. Sebagai bagian dari adat-istiadat, perkawinan Jawa jelas dikonstruksi hanya dan hanya untuk kepentingan manusia Jawa.

Dengan mengikuti aturan adat perkawinan, maka pasutri Jawa dinyatakan beradat dan bermartabat. Maka dengan begitu pasutri tersebut dterima sebagai bagian dari komunitas.

Sekarang coba kita renungkan. Jika sepasang anjing dinikahkan secara adat Jawa, apakah pasutri anjjng itu bisa memahami dan menjiwai makna adat itu? Apakah dengan begitu anjing menjadi beradat dan manusiawi?

Untuk memperjelas, ambil contoh unsur kembar mayang dalam perkawinan Luna dan Jojo, dua ekor anjing kaya-raya itu.

Dalam adat perkawinan manusia Jawa, kembar mayang itu punya makna filosofis dan sosial mendalam. Singkatnya, hal itu bermakna penyatuan sepasang manusia, laki-laki dan perempuan, telah menjadi sebuah keluarga yang menumbuhkan suatu pohon hidup baru. Di dalam keluarga itu ada harapan-harapan baik dan kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan untuk meraihnya.

Dua kembar mayang itu melambangkan Dewandaru dan Kalpandaru. Dewandaru adalah wahyu pengayoman. Harapannya mempelai pria dapat mengayomi keluarganya secara lahir batin.

Sementara Kalpandaru adalah wahyu kelanggengan. Harapannya hidup kedua mempelai panjang umur, langgeng, dan abadi.

Berdasarkan hal-hal itu, apakah pasangan pengantin anjing Luna dan Jojo mampu memahami, memaknai, dan mengamalkan nilai Dewandaru dan Kalpandaru itu?

Apakah sepasang anjing itu telah menjadi sedemikian manusiawinya, sehingga kepada mereka layak diberlakukan nilai atau norma luhur manusia Jawa?

Jawabannya sebenarnya telah diungkapkan sebelumnya, selamanya anjing adalah anjing dan manusia adalah manusia. Manusia sah-sah saja menyayangi anjing, seperti anjing juga sah menyayangi tuannya.

Namun jika memberikan nilai budaya luhur manusia, seperti adat perkawinan Jawa kepada anjing, maka hal itu sama saja seperti merampas makanan dari anak kecil untuk diberikan kepada anjing.

***

Jelas, sangat jelas, menjalankan adat perkawinan Jawa untuk sepasang "pengantin anjing" yang tak berbudaya sangatlah tidak selayak dan sepantasnya.

Mungkin bagi kedua pemilik Luna dan Jojo, hal itu dimaknai sebagai ekspresi rasa sayang pada anjingnya. Bahkan bisa saja lebih parah, hal itu sekadar tindakan lucu-lucuan mewah untuk menyenangkan anjing-anjing mereka.

Kenapa lucu-lucuan? Loh, kenapa tidak? Seperti banyak diberitakan, setelah kedua anjing itu selesai menjalani “resepsi perkawinan”, mereka langsung kembali ke rumah tuannya masing-masing, tidak ditempatkan dalam satu rumah yang sama.

Jadi, tidak akan ditemui adegan “malam pertama di ranjang pengantin”, apalagi agenda bulan madu ke Labuan bajo atau tempat lainnya.

Perkawinan dua ekor anjing, Luna dan Jojo, bagi sebagian orang Jawa, entah perorangan maupun kelompo, dirasa sebagai penistaan terhadap budaya luhur mereka.

Dalam kalimat yang sarkastis, kedua pemilik anjing itu seakan mengatakan "Adat perkawinan Jawa itu bagus untuk anjing."

Tak sekadar terindikasi sebagai penistaan terhadap budaya Jawa, acara perkawinan mewah Luna dan Jojo juga minus empati sosial.

Menghamburkan Rp 200 juta untuk "kebahagiaan" dua ekor anjing merupakan tindakan yang sama sekali tak sensitif terhadap penderitaan 26 juta warga miskin di Indonesia.

Memang tak ada larangan untuk memberi kemewahan pada anjingmu, wahai tuan dan puan kaya-raya. Akan tetapi, tolong jangan lakukan itu dengan cara mendevaluasi adat dan budaya kami.

Jangan pula pamerkan kemewahan anjingmu kepada kami yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Kami sakit hati dan terhina.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Pantaskah Anjing Menjalani Adat Perkawinan Orang Jawa?"

 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Apa yang Membuat 'Desperate' Ketika Cari Kerja?

Apa yang Membuat "Desperate" Ketika Cari Kerja?

Kata Netizen
Antara Bahasa Daerah dan Mengajarkan Anak Bilingual Sejak Dini

Antara Bahasa Daerah dan Mengajarkan Anak Bilingual Sejak Dini

Kata Netizen
Kebebasan yang Didapat dari Seorang Pekerja Lepas

Kebebasan yang Didapat dari Seorang Pekerja Lepas

Kata Netizen
Menyiasati Ketahanan Pangan lewat Mini Urban Farming

Menyiasati Ketahanan Pangan lewat Mini Urban Farming

Kata Netizen
Mari Mulai Memilih dan Memilah Sampah dari Sekolah

Mari Mulai Memilih dan Memilah Sampah dari Sekolah

Kata Netizen
Menyoal Kerja Bareng dengan Gen Z, Apa Rasanya?

Menyoal Kerja Bareng dengan Gen Z, Apa Rasanya?

Kata Netizen
Solidaritas Warga Pasca Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki, Flores Timur

Solidaritas Warga Pasca Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki, Flores Timur

Kata Netizen
Kenali 3 Cara Panen Kompos, Mau Coba Bikin?

Kenali 3 Cara Panen Kompos, Mau Coba Bikin?

Kata Netizen
Tips yang Bisa Menunjang Kariermu, Calon Guru Muda

Tips yang Bisa Menunjang Kariermu, Calon Guru Muda

Kata Netizen
Dapatkan Ribuan Langkah saat Gunakan Transportasi Publik

Dapatkan Ribuan Langkah saat Gunakan Transportasi Publik

Kata Netizen
Apa Manfaat dari Pemangkasan Pada Tanaman Kopi?

Apa Manfaat dari Pemangkasan Pada Tanaman Kopi?

Kata Netizen
Kembangkan Potensi PMR Sekolah lewat Upacara Bendera

Kembangkan Potensi PMR Sekolah lewat Upacara Bendera

Kata Netizen
Menulis sebagai Bekal Mahasiswa ke Depan

Menulis sebagai Bekal Mahasiswa ke Depan

Kata Netizen
Membedakan Buku Bekas dengan Buku Lawas, Ada Caranya!

Membedakan Buku Bekas dengan Buku Lawas, Ada Caranya!

Kata Netizen
Menunggu Peningkatan Kesejahteraan Guru Terealisasi

Menunggu Peningkatan Kesejahteraan Guru Terealisasi

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau