Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Ketika memasuki puncak musim kemarau di Indonesia, kabut asap yang tebal biasa terjadi. Bukan kita yang mesti membiasakan itu, melainkan sebuah pengingat yang tak dapat diabaikan.
Penyebabnya beragam, tapi terjadi karena kebakaran hutan maupun lahan. Itu merupakan musibah tahunan yang merusak ekosistem, mengancam kesehatan manusia, dan menyebabkan kerugian ekonomi.
Keringnya tanah, cuaca panas yang ekstrem, dan aktivitas manusia yang tidak terkontrol semakin meningkatkan risiko kebakaran hutan dan lahan.
Beberapa tahun terakhir, misalnya, kebakaran hutan dan lahan telah menjadi masalah global. Asap tebal yang bertiup ke negara-negara tetangga akan menjadi berita utama di seluruh dunia.
Kalau kita runut, sebenarnya ada beberapa faktor yang berkontribusi besar atas meningkatnya kebakaran hutan dan lahan selama musim kemarau.
Pertama, deforestasi yang terus berlanjut. Itu memberi ruang bagi ekspansi pertanian dan perkebunan kelapa sawit telah merusak ekosistem hutan dan lahan gambut.
Kedua, praktik-praktik pertanian dan perkebunan yang tidak berkelanjutan. Ini juga termasuk menggunakan api untuk membersihkan lahan sebagai penyebab utama kebakaran.
Ketiga, penegakan hukum terkait pembakaran hutan maupun lahan. Pemerintah, perusahaan, dan masyarakat semestinya tahu bahwa praktik pembakaran seperti itu merupakan masalah serius.
Titik Panas dan Ancaman Kebakaran Terus Meningkat
JIka mengutip data terbaru dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa jumlah titik panas (hotspot) dalam 10 hari terakhir sangat dominan di Kalimantan, dengan sebanyak 460 titik panas.
Sebagai rincian, terdapat 247 titik panas di Kalimantan Barat, setelah itu ada 107 titik di Kalimantan tengah, selanjutnya ada 70 titik panas di Kalimantan Timur, dan terakhir 36 titik panas di Kalimantan Selatan.
Selain di pulau Kalimantan, sebenarnya masih ada titik-titik panas lainnya yang terdeteksi di Indonesia: NTT, Papua, dan Sumatera Selatan.
Untuk di Kalimantan Barat saja luas karhutla (kebakaran hutan dan lahan) tahun 2023 hingga bulan Juli telah mencapai 1.962,59 hektar.
Angka-angka ini mengingatkan kita akan potensi kebakaran hutan yang selalu mengintai di musim kemarau.
Namun, masih ada faktor lain yang membuat situasi ini makin buruk, yakni minimnya curah hujan. Ini juga penting, karena dengan hujan yang jarang turun akan memudahkan api cemat sekali menjalar ketika terjadi kebakaran.
Dampaknya pada Kualitas Udara
Kualitas udara yang buruk telah menjadi masalah serius di beberapa wilayah Indonesia. Musim kemarau yang panjang dan kebakaran hutan dan lahan yang terus berkembang telah menghasilkan kondisi kualitas udara yang semakin memburuk.
Masih menurut data BMKG, bahwa Kalimantan Barat merupakan wilayah yang paling terkena dampak. Sedangkan di Jakarta, masalah yang dihadapi justru karena emisi polutan dari kendaraan bermotor yang semakin tinggi serta dari sektor industri, terutama permbangkit listrik.
Permasalahan lainnya seperti kondisi cuaca yang kering namun dengan tingkat kelembaban tinggi terutama di malam hari di beberapa wilayah Indonesia semakin memperparah situasi.
Kalau kita rasakan beberapa hari ini kelembaban udara yang tinggi dalam iklim tropis dapat mengakibatkan akumulasi polutan di udara, meningkatkan risiko kualitas udara yang buruk.
Maka ketika musim kemarau, asap dari kebakaran hutan dan lahan, emisi polutan, dan panas yang eksterm ini mengancam kesehatan manusia. Partikel-partikel berbahaya dalam asap tersebut dapat menyebabkan masalah pernapasan, terutama pada anak-anak dan orang tua.
Oleh karena itu, ini bukan hanya masalah kebijakan, tetapi juga masalah kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kebakaran Hutan dan Polusi Udara, Tantangan Berat di Puncak Musim Kemarau"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.