Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Sementara itu untuk toko fisik setidaknya membutuhkan biaya operasional yang tak sedikit seperti gaji karyawan, sewa tempat, listrik, servis, internet, pajak, dan banyak lagi yang tak terduga.
Selain itu toko-toko online ini juga memiliki privilege dari pengelola aplikasi dengan memberikan potongan harga tambahan, seperti gratis ongkos kirim hingga cashback bagi Si Pembeli.
Kehadiran live shopping yang memberi harga murah serta banyak potongan harga lainnya, tentu dengan mudah bisa mengambil hati banyak orang.
Belum lagi dengan kemudahan-kemudahan lain yang juga bisa didapatkan dengan belanja online. Maka sebagai pembeli pun tentu tak akan perlu berpikir panjang untuk tak menyia-nyiakan kesempatan berbelanja murah saat live shopping berlangsung.
Produk yang ditawarkan pun beraneka ragam yang bisa didapat dari toko berbeda. Mulai dari fashion kekinian, mainan anak, sembako, skincare, dan masih banyak lagi.
Selain itu daya tarik lain bagi para pembeli adalah hadirnya banyak artis yang juga ikut meramaikan live shopping ini sebagai brand ambasador, affiliator, bahkan hingga membuat bisnisnya sendiri.
Keberadaan live shopping meski memudahkan konsumen untuk mencari barang belanjaan dengan harga lebih murah, namun tentu punya sisi lain yang ditentang oleh penjual/pedagang lainnya.
Mereka yang menentang bukanlah sesama penjual/pedagang online, melainkan mereka yang memiliki bisnis serupa namun masih menjalankan bisnisnya secara offline dan memiliki toko fisik, baik di pasar maupun tempat lainnya.
Mengapa saya bisa mengatakan begitu?
Sebab, hal ini sesuai dengan apa yang saya alami sendiri. Sebagai kepala toko di salah satu perusahaan retail pakaian yang brand-nya cukup dikenal orang, saya memiliki pengalaman konkret soal dampak yang dirasakan akibat munculnya live shopping TikTok ini.
Dampak yang paling terasa adalah dalam beberapa bulan terakhir, toko yang saya kelola termasuk juga toko cabang lainnya dalam satu brand yang sama mengalami penurunan omzet yang cukup drastis jika dibandingkan catatan tahun lalu.
Pada awalnya saya merasa hal ini mungkin disebabkan oleh faktor konsumen yang sedang tidak membutuhkan produk dari toko yang saya kelola, namun ternyata setelah dilakukan analisis sederhana, kenyataannya tidak sesederhana itu.
Hal yang sama juga ternyata dialami oleh toko retail lain yang merupakan kompetitor. Ia mengungkapkan bahwa penurunan omzet juga ia alami dalam beberapa waktu terakhir.
Bahkan untuk mengatasi penurunan omzet ini ia melakukan pengurangan biaya operasional dengan cara menonaktifkan beberapa tempat di tokonya, hingga melakukan penyesuaian jumlah karyawan.
Hal serupa juga diungkapkan oleh banyak pelaku usaha offline di media sosial seperti Twitter yang merasakan kesulitan dan penurunan omzet karena konsumennya perlahan menurun.
Tentu toko yang saya kelola tak bisa terus bertahan hanya mengandalkan pembeli yang datang ke toko saja. Maka akhirnya diputskan juga toko dari brand yang sama wajib melakukan live shopping dengan memberi harga yang lebih rendah dari harga di pasaran, bahkan hingga menurunkan 50% yang benar-benar menurunkan margin.
Dari upaya ini, hasil yang dirasakan cukup memberi kenaikan dan bisa meningkatkan pendapatan toko meski harus mengorbankan harga barang yang dijual.
Berangkat dari hal itu, saya lalu menyadari bahwa live shopping adalah faktor besar mengapa masyarakat mulai enggan belanja ke toko secara langsung dan lebih gemar belanja online karena hanya memerlukan ponsel mereka dan bisa dilakukan kapan saja.