Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Novaly Rushans
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Novaly Rushans adalah seorang yang berprofesi sebagai Relawan. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Beban Politik Pilkades, antara Manfaat dan Kesia-siaan

Kompas.com - 06/10/2023, 14:37 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Menjelang gelaran pemilu serentak 2024 nanti, ada yang tak kalah seru, yakni Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Di desa saya yang ada di perbatasan Kabupaten Bogor, Kabupaten Serang, dan Kabupaten Lebak, sudah ada lima calon kepala desa yang terdaftar.

Pemilihan kepala desa akan dilaksanakan pada 13 November 2023 tapi gegap gempitanya sudah terasa sejak beberapa bulan belakangan.

Di banyak tempat sudah terpasang berbagai baliho calon kepala desa yang berukuran cukup besar seperti tak mau kalah dengan baliho para caleg partai.

Ajang pemilihan kepala desa menjadi gengsi tersendiri. Bagi keluarga besar Si Calon Kepala Desa, kemenangan dalam Pilkades seperti piala yang harus dimiliki.

Akibatnya jika ada seseorang yang mencalonkan dirinya sebagai kepala desa, keluarga besarnya rela menjual tanah, rumah, mobil, perhiasan, bahkan hingga meminjam uang hanya untuk membiayai pencalonan itu.

Sebab ada isu yang menyebutkan semakin besar biaya yang dikeluarkan, malah menjadi tolok ukur Calon Kades itu memiliki potensi lebih untuk menang.

Hal ini justru membuat para calon kades tersebut banyak yang tak memiliki visi misi atau gagasan untuk membangun desa. Kebanyakan dari mereka tak memiliki rencana menggunakan dana desa untuk menyejahterakan warganya, yang mereka berikan hanya janji-janji untuk memberi “uang” pada warganya.

Di samping itu, kebanyakan tim pemenangan setiap Calon Kades merupakan orang-orang yang memiliki jaringan para tokoh masyarakat, tokoh agama, Ketua RT, Ketua RW, dan sebagainya. Semakin banyak jaringan yang dimiliki oleh seorang Calon Kades, maka itu menjadi penambah peluang untuk menang.

Seorang Calon Kepala Desa harus menjaga lumbung suaranya dengan memberikan fasilitas kendaraan antar jemput untuk para warga pemilih. Cara mereka menjaga lumbung suaranya adalah dengan menyewa banyak angkot dan diberikan tanda Calon Kades tersebut.

Relawan mereka juga akan terus menjaga warga yang masuk ke bilik suara di hari pemilihan sembari tetap mengingatkan nomor atau foto Calon Kades yang wajib dicoblos.

Di saat seperti itu juga mereka akan memberikan amplop berisi uang. Faktor banyaknya jumlah uang inilah yang akan menentukan seorang warga akan mencoblos siapa di bilik suara.

Semakin banyak uang dalam amplop tersebut, maka bisa dipastikan orang yang diberikan akan memilih calon kades yang memberikan uang tadi.

Fenomena ini yang sering dikenal sebagai “serangan fajar” memang sudah hal lumrah yang dilakukan di setiap ajang pemilihan kepala desa.

Peran tim pemenangan sangat penting, para ketua RT biasanya dilibatkan untuk memastikan warganya memilih Calon Kades yang sudah disepakati.

Kisaran Biaya yang Dibutuhkan Calon Kepala Desa

Dari hasil obrolan santai dengan para tokoh masyarakat desa, mereka menjelaskan soal besaran biaya yang disiapkan para Calon Kades biasanya tergantung pada lokasi desa.

Semakin banyak pabrik atau lokasi industri maka biaya menjadi kepala desa semakin besar. Sebagai gambaran, saya dengar ada Calon Kades yang menyiapkan uang Rp200.000 untuk setiap satu suara. Uang itu bisa diberikan sekaligus atau bertahap, tergantung bagaimana situasi di lapangan.

Dengan dana sebesar itu untuk setiap satu suara, maka kita bisa jadi mengira-ngira berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh seorang Calon Kades. Biaya itu tentu di luar biaya untuk tim sukses, relawan, pembuatan baliho serta alat peraga kampanye (APK) lainnya.

Meski begitu, banyak juga Calon Kades yang mengganti uang untuk menarik simpati warga dengan hasil bumi atau hasil lainnya seperti ikan.

Bila ditinjau secara beban politik, pilkades memang menjadi sumber pengeluaran yang besar bagi setiap calon kades dan pemerintah. Biaya penyelenggaraan, biaya pengamanan, dan biaya lainnya yang menyita dana cukup besar.

Sementara hasil dari Pemilihan Kepala Desa sendiri tidaklah signifikan, artinya pemerintahan desa dan pembangunan desa nyaris tidak dirasakan masyarakat.

Pola transaksional seperti ini yang terjadi di setiap ajang Pilkades akan membuat prioritas kades terpilih kelak bukan menyejahterakan rakyat atau membangun desa yang akan dipimpimnnya.

Melainkan mereka akan lebih dulu memprioritaskan bagaimana caranya untuk mengembalikan modal biaya yang telah dikeluarkan selama masa kampanye hingga akhirnya terpilih.

Hal inilah tentu yang mengakibatkan demokrasi di tataran paling bawah menjadi cerminan yang salah. Dan fenomena ini tak menutup kemungkinan bisa berimbas pada ajang pemilihan lain, seperti pemilihan legislatif bahkan pemilihan presiden.

Adalah sebuah konsep yang salah bila setiap pemilih akan memilih seorang calon kades atau caleg ketika ia mendapat uang dari setiap calon kades atau caleg tersebut.

Jika terus begitu tentu akan sulit bahkan mungkin tidak akan bisa mewujudkan demokrasi yang sehat. Sebab, pola transaksional itu akan mengakibatkan para calon kades mapun caleg tidak lagi beradu gagasan melainkan beradu berapa banyak modal (baca: uang) yang bisa mereka keluarkan.

Lalu sampai kapan Pilkades bisa memberikan manfaat kebaikan, kalau diawali hal yang tidak sesuai.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Pilkades, Beban Politik antara Manfaat dan Kesia-siaan"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Dampak Melemahnya Nilai Tukar Rupiah terhadap Sektor Industri

Dampak Melemahnya Nilai Tukar Rupiah terhadap Sektor Industri

Kata Netizen
Paradoks Panen Raya, Harga Beras Kenapa Masih Tinggi?

Paradoks Panen Raya, Harga Beras Kenapa Masih Tinggi?

Kata Netizen
Pentingnya Pengendalian Peredaran Uang di Indonesia

Pentingnya Pengendalian Peredaran Uang di Indonesia

Kata Netizen
Keutamaan Menyegerakan Puasa Sunah Syawal bagi Umat Muslim

Keutamaan Menyegerakan Puasa Sunah Syawal bagi Umat Muslim

Kata Netizen
Menilik Pengaruh Amicus Curiae Megawati dalam Sengketa Pilpres 2024

Menilik Pengaruh Amicus Curiae Megawati dalam Sengketa Pilpres 2024

Kata Netizen
Melihat Efisiensi Jika Kurikulum Merdeka Diterapkan

Melihat Efisiensi Jika Kurikulum Merdeka Diterapkan

Kata Netizen
Mengenal Tradisi Lebaran Ketupat di Hari ke-7 Idulfitri

Mengenal Tradisi Lebaran Ketupat di Hari ke-7 Idulfitri

Kata Netizen
Meminimalisir Terjadinya Tindak Kriminal Jelang Lebaran

Meminimalisir Terjadinya Tindak Kriminal Jelang Lebaran

Kata Netizen
Ini Rasanya Bermalam di Hotel Kapsul

Ini Rasanya Bermalam di Hotel Kapsul

Kata Netizen
Kapan Ajarkan Si Kecil Belajar Bikin Kue Lebaran?

Kapan Ajarkan Si Kecil Belajar Bikin Kue Lebaran?

Kata Netizen
Alasan Magang ke Luar Negeri Bukan Sekadar Cari Pengalaman

Alasan Magang ke Luar Negeri Bukan Sekadar Cari Pengalaman

Kata Netizen
Pengalaman Mengisi Kultum di Masjid Selepas Subuh dan Tarawih

Pengalaman Mengisi Kultum di Masjid Selepas Subuh dan Tarawih

Kata Netizen
Mencari Solusi dan Alternatif Lain dari Kenaikan PPN 12 Persen

Mencari Solusi dan Alternatif Lain dari Kenaikan PPN 12 Persen

Kata Netizen
Tahap-tahap Mencari Keuntungan Ekonomi dari Sampah

Tahap-tahap Mencari Keuntungan Ekonomi dari Sampah

Kata Netizen
Cerita Pelajar SMP Jadi Relawan Banjir Bandang di Kabupaten Kudus

Cerita Pelajar SMP Jadi Relawan Banjir Bandang di Kabupaten Kudus

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com