Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Setiap momentum kontestasi pemilu yang digelar setiap lima tahun, apa sebenarnya yang paling dijaga?
Jawabannya tentu adalah persatuan bangsa.
Perihal menjaga persatuan bangsa, sejatinya sudah diwariskan oleh The Founding Fathers (para pendiri bangsa) sejak 78 tahun lalu, saat bangsa Indonesia resmi memproklamasikan kemerdekaannya.
Tidak hanya mewariskan dimensi kemerdekaan, para Founding Fathers kita juga mewariskan dimensi personal karakter yang harus dimiliki oleh siapa pun para pemimpin yang mendapat ananah rakyat.
Karakter personal tersebut adalah sikap negarawan, rela berkorban, dan mengedepankan persatuan. Pada saat ini karakter tersebut mudah tergerus, terutama saat kepentingan individu atau kelompok lebih diutamakan daripada kepentingan bangsa dan negara.
Maka dari itu, di momen Pemilu yang sebentar lagi akan berlangsung, impelementasi dari karakter-karakter tersebut justru sedang diuji. Apakah mereka para elite politik bertindak sebagai negarawan sejati yang mengedepankan persatuan bangsa, atau sebaliknya malah mengutamakan kepentingan kekuasaan dengan mengedepankan segala cara untuk mendapatkannya.
Kenyataan yang terlihat dari kontestasi pemilu tahun 2019 lalu bahwa bangsa ini nyaris mengalami perpecahan akibat polarisasi anak bangsa yang berlangsung secara biner, adalah sebuah keniscayaan.
Pada saat itu ternyata banyak yang lebih memilih melanggengkan polarisasi sesama anak bangsa, daripada mengedepankan persatuan bangsa.
Tentu hal itu adalah sebuah keprihatinan. Bagaimana amanat para pendiri bangsa bisa dilaksanakan, jika untuk mencegah polarisasi saja sulit diwujudkan.
Apakah mereka harus menunggu bangsa ini terpecah dulu, baru nantinya sadar bahwa ternyata sudah gagal dalam menjaga persatuan?
Hal ini tentu tidak kita inginkan untuk terjadi.
Maka dari itu, momen undangan makan siang bersama dari Presiden Republik Indonesia, Jokowi kepada ketiga calon presiden, Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan di Istana Merdeka --bagi saya-- seakan menjadi pesan yang mengisyaratkan amanat persatuan tersebut.
Bahwa para pemimpin ini bisa duduk semeja, sembari menyantap makan siang dalam suasana penuh kebersamaan dan keakraban, itulah yang diharapkan membawa pesan persatuan bagi bangsa ini.
Sejatinya sikap itulah yang seharusnya dicontohkan oleh para pemimpin, bagaimana mereka bersikap dan memberi teladan kepada rakyatnya. Teladan tentang begitu berartinya persatuan bangsa, daripada melanggangkan polarisasi.
Contoh tentang bagaimana ego kekuasaan bisa dieliminasi demi melihat hal yang lebih penting ke depan. Serta bagaimana dinamika kontestasi yang menghangat, bisa diredam sejenak dalam semangat kebersamaan para capres dan presiden.
Pesan inilah yang terpancar dari agenda makan siang bersama di Istana Merdeka, Senin (30/10/2023). Persatuan harus terus dijaga, meskipun berbeda pilihan politik pada pemilu 2024 nanti.
Ketika tiga capres bisa bersatu untuk pemilu damai, maka sebagai rakyat sudah seharusnya ikut bersatu dengan ikut menjaga suasana damai dan kondusif.
Jika nantinya terlihat gelagat polarisasi di antara pendukung, maka menjadi tugas para Capres lah selaku komunikator politik untuk senantiasa menyampaikan pesan-pesan persatuan.
Ketiga capres dan seluruh tokoh elite politik harus berdiri paling depan untuk menjaga semangat kebersamaan dan perdamaian seluruh rakyat. Jangan sampai kejadian seperti pemilu sebelumnya yang antagonistik dan mempolarisasi sesama anak bangsa terulang kembali.
Keputusan Jokowi sebagai kepala negara untuk mengundang dan mempertemukan ketiga capres dalam satu meja merupakan keputusan yang tepat, sebab ialah orang yang paling bertanggung jawab atas stabilita negara jelang pemilu 2024 nanti.
Sikap tersebut sekaligus memberi contoh keteladanan akan semangat kebersamaan dan persatuan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Di satu sisi pesan simbolik dari dalam istana mengisyaratkan bahwa Jokowi sebagai Presiden RI mengapresiasi penuh semua capres sebagai putra-putra bangsa yang layak untuk berkontestasi meneruskan estafet kepemimpinan negara.
Pada momen pertemuan tersebut juga menggambarkan tidak ada dikotomi atau pemihakan Presiden terhadap salah satu capres. Semua diberikan posisi, porsi, dan jamuan yang sama.
Diundangnya ketiga capres di Istana Merdeka juga sekaligus mengisyaratkan sejatinya mereka adalah sosok-sosok yang pantas untuk menjadi penghuni istana selanjutnya.
Maka kelak siapapun yang terpilih menjadi pemimpin Indonesia nantinya, semangat persatuan diharapkan akan selalu hidup dan selalu menyertainya selama menjadi pemimpin. Jangan sampai semangat persatuan itu padam dari sanubari terdalam.
Hanya dengan itu, warisan berharga para pendiri bangsa bisa terus dirawat oleh seluruh elemen bangsa. Khususnya para elite politik yang bertindak sebagai negarawan.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Pesan Simbolik dari Makan Siang Bersama di Istana Merdeka"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.